Berpikir Maju dengan Literasi Kritis

Syarief Oebaidillah
21/4/2016 06:35
Berpikir Maju dengan Literasi Kritis
(MI/GALIH PRADIPTA)

KARYA tulisan Kartini (1879-1904) yang diterbitkan melalui sebuah buku berbahasa Belanda dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) bisa jadi inspirasi bagi kaum perempuan Indonesia di masa kini dalam hal meningkatkan kemampuan literasi mereka.

Pasalnya, dalam buku itu tebersit kemampuan literasi yang harus dikuasai perempuan tidak hanya dalam hal kemampuan membaca dan menulis bahan tercetak.

“Lebih dari itu, harus disertai dengan kemampuan berkomunikasi dalam teks lisan dan tulis,” ujar Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ditjen PAUD dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud, Ella Yulaelawati, di Jakarta, kemarin.

Itu penting, jelas Ella, apalagi saat ini sudah memasuki era digital yang membuat perempuan Indonesia juga harus menguasai literasi kritis. Literasi kritis maksudnya di sini, proses berpikir melakukan refleksi dan kontradiksi terhadap informasi yang diperoleh.

Pasalnya, pengetahuan yang diperoleh dari teks, selain bisa mencerahkan dan bermanfaat juga dapat menyesatkan, tidak dapat diandalkan, serta terkadang merusak, terutama bagi pembaca pasif.

“Nah, dalam hal ini perempuan Indonesia harus menyikapi cerdas dengan literasi kritis. Konkretnya, yakni menyikapi secara cerdas atas masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang ada,” papar Ella yang pernah mewakili pemerintah Indonesia mendapat penghargaan UNESCO King Sejong Literacy Prize pada 2012 di Paris, Prancis.

Dia mencontohkan perkembangan media elektronik dan media sosial akhir-akhir ini yang sangat maju di Indonesia. Bahkan, keduanya tidak jarang memanfaatkan psikologi sosial masyarakat dengan membentuk opini publik yang tidak jarang justru menyesatkan, bahkan menimbulkan ketakutan.

Dengan kemampuan berkomunikasi yang perwujudannya antara lain melalui literasi kritis, keikutsertaan perempuan ataupun komunitas perempuan sangat dibutuhkan agar turut mencerdaskan masyarakat pada era digital ini. “Dengan kata lain, Kartini masa kini harus menguasai media sosial secara kritis bukan malah dikuasai,” tandas Ella.

Jika hal itu tidak dapat dikuasai kaum perempuan, yang terjadi ialah dahsyatnya komoditas informasi dapat menimbulkan kekuatan sosial untuk berperilaku buruk seperti perilaku konsumtif dan permisif.

“Akibatnya, ini tak sebanding dengan tujuan mulia, yaitu meningkatkan kemajuan teknologi serta informasi untuk pencerahan dan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Ella.

Pendidikan informal
Anggota Badan Akreditasi Nasional PAUD dan Pendidikan Non-Formal (PNF) Yessy Gusman menambahkan Kartini ialah ikon dan tonggak bagi perempuan Indonesia yang mendorong pendidikan kaum perempuan dimulai dari sektor informal, yakni pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya.

Untuk itu, menurut doktor pendidikan dari UNJ tersebut, dalam mencetak generasi saat ini, pendidikan nonformal dan informal sama pentingnya. Keduanya memberikan kesempatan kepada kalangan perempuan untuk belajar mengembangkan diri sesuai dengan pilihan dan kondisi yang ada.

“Dengan kata lain, dibutuhkan keberanian dan kemauan perempuan untuk perubahan serta berani memilih jurusan ilmu pengetahuan yang diminati walau belum populer di suatu masyarakat,” urai dia.

Pemerhati pendidikan, Marlock, menyampaikan semangat perjuangan Kartini mesti dilanjutkan generasi penerus bangsa apa pun jenis pendidikan yang ditempuhnya, baik pendidikan formal maupun informal pada era sekarang.

Bagi Marlock yang lebih dikenal pemerhati vokasi ini, setiap generasi Kartini harus menelaah karya Kartini dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. “Dalam karya buku itu tersirat untuk perempuan dapat memilih pendidikan SMK yang dibekali keterampilan serta kemampuan khusus agar berperan aktif di kehidupan masyarakat,” ujar Marlock.

Menurutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta lembaga negara sangat berperan dalam hal memajukan pendidikan vokasi. Jika pendidikan SMK terus berkembang maju, amat mungkin tingkat pendidikan dan kesejahteraan kaum perempuan juga dapat maju. Dia mencontohkan kaum perempuan yang lulusan SMK Kesehatan tidak hanya dapat melanjutkan ke fakultas kedokteran, tetapi juga bisa mengabdi di masyarakat langsung, seperti di puskesmas, posyandu, rumah sakit, panti jompo, dan Palang Merah Indonesia (PMI).

Begitu pun pada siswa perempuan dari SMK Tata Boga yang bisa dilibatkan di dapur umum untuk membantu korban bencana alam. “Sehingga membentuk Kartini muda kini tidak hanya dia bisa menyejahterakan dirinya, tetapi juga bagaimana mereka diberikan kesempatan membangun daerah,” pungkas Marlock. (S-4)

oebay@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya