Tidak Gentar Menjegal Tren

Nuriman Jayabuana
28/3/2016 00:15
Tidak Gentar Menjegal Tren
(MI/ATET DWI PRAMADIA)

KEBERADAAN start-up dewasa ini tak lagi hanya di negara maju, tapi juga di negara berkembang seperti Indonesia.

Tak hanya ingin berperan sebagai pasar start-up asing, berbagai start-up kini pun lokal mulai banyak bermunculan untuk menjadi pemain di negeri sendiri.

Bahkan, dalam dua tahun terakhir, sejumlah start-up ternama di Tanah Air telah menerima kucuran dana investor asing untuk memperkuat pengembangan bisnis mereka.

Sebut saja perusahaan start-up seperti Go-Jek dan Bukalapak yang secara bertahap mulai merangkak menjadi perusahaan bervaluasi tinggi.

Maraknya kehadiran mereka tentu saja tidak terlepas dari penetrasi internet yang terus meningkat di Tanah Air, terutama melalui peranti ponsel.

Karena begitu tingginya penggunaan ponsel pintar oleh masyarakat Indonesia, terciptalah pasar yang menjanjikan, salah satunya bagi start-up pengembang aplikasi digital.

"Kami melihat penggunaan mobile apps yang begitu tinggi dari masyarakat Indonesia. Jadi, kami lihat ini sebagai peluang bagi pelaku start-up," ujar seorang venture capitalist asal Amerika Serikat, Paul Bragiel, secara eksklusif kepada Media Indonesia saat bertandang ke Jakarta, beberapa pekan lalu.

Paul merupakan pendiri beberaap perusahaan modal ventura yang telah menyuntikkan modal kepada ratusan start-up pengembang teknologi di dunia.

Dia merupakan pendiri I/O Ventures yang berbasis di AS, Golden Gate Ventures yang berbasis di Asia Tenggara, dan Savannah Fund yang berbasis di Afrika.

"Dalam enam tahun terakhir, secara keseluruhan saya telah berinvestasi pada 157 perusahaan di seluruh dunia," ujar dia.

Ia memang tidak asing dengan pengembangan bisnis start-up.

Sebelum mendirikan berbagai perusahaan modal ventura, Bragiel awalnya merupakan CEO sejumlah start-up di kawasan Selatan San Fransisco, Silicon Valley.

Silicon Valley merupakan kawasan teknopolis di Amerika Serikat yang dikenal sebagai markas berbagai perusahaan pengembang teknologi ternama, seperti Google dan Facebook.

Beberapa start-up yang pernah dia nakhodai di sana antara lain Paragon Five, Meetro, dan Lafora.

Namun, sejak 2010, sejumlah perusahaan yang ia bangun dijualnya dengan harga berlipat kepada perusahaan lain.

Bragiel yang ketika itu baru berusia 33 tahun memulai peruntungan baru dengan mendirikan perusahaan modal ventura.

"Setelah menjalankan sejumlah perusahaan di Slicon Valley selama belasan tahun, saya akhirnya menjualnya dan memulai bisnis ini di AS, Asia, dan penjuru dunia lainnya," kata dia.

Melaju

Lulusan sarjana teknik komputer Universitas Illinois itu merupakan investor sejumlah start-up yang kini telah memegang pangsa pasar terbesar di sektornya, seperti Uber, Zappos, dan Unity.

"Saat memulai investasi di Uber, mereka hanya mempekerjakan tiga pegawai. Tapi semua orang kini bisa melihat valuasi Uber telah melebihi US$60 miliar," beber Bragiel.

Zappos, prusahaan penjual pakaian dan sepatu di dunia maya, kini telah diakuisisi perusahaan e-commerce Amazon dengan nilai miliaran dolar AS.

Sementara itu, Unity merupakan perusahaan yang memproduksi hampir dari separuh mobile video games pada platform ponsel pintar.

"Kalau kamu memainkan gim dari smartphone, amat mungkin kamu menggunakan produk Unity," terangnya.

Bragiel mengamati pertumbuhan start-up di Indonesia mulai melaju cepat, setidaknya dalam dua tahun terakhir.

Hal itu terlihat seiring dengan bertambahnya populasi yang melek teknologi.

Ia berpendapat, jika semakin banyak start-up yang bersaing di Indonesia, itu akan semakin baik bagi ekosistemnya.

Sillicon Valley, imbuh Bragiel, butuh waktu dua tahun untuk membangun ekosistem start-up.

Prediksinya, Indonesia memerlukan waktu 5-7 tahun untuk membangun 'Lembah Silikon'-nya sendiri.

"Beri waktu 5 tahun dan kita akan melihat perusahaan besar mulai mengakuisisi start-up-start-up lokal," ujar pria yang sempat menghabiskan waktu setahun untuk backpacking keliling Indonesia, Thailand, dan India itu.

Di saat sama, momentum itu juga akan meningkatkan peluang miliaran dolar masuk di ranah start-up Tanah Air.

Apalagi, saat ini masih banyak perusahaan start-up di Indonesia yang kesulitan mengakses pendanaan.

Permodalan dari bank belum menjadi hal lumrah bagi perusahaan muda di ranah teknologi digital.

High risk, high return

Bragiel mengakui skema bisnis yang dijalankan pelaku start-up umumnya akan dianggap bankir sebagai usaha yang berisiko dan tidak mendatangkan return yang dengan ekspektasi.

Dengan demikian, model bisnis itu lebih memungkinkan mendapat pendanaan dari modal ventura.

"Secara umum apa yang dulu kami alami di Silicon Valley juga hampir sama dengan di Indonesia saat ini. Sulit mendapat dana, sulit merekrut orang yang tepat, dan sulit memasarkan produk," ujar dia.

Melalui Golden Gate Ventures (GGV) yang bermarkas di Singapura, Bragiel mengaku telah menanamkan modalnya pada sembilan start-up Indonesia.

"Di Indonesia, kita telah berinvestasi pada semibilan perusahaan."

GGV menargetkan akan menyertakan modal lebih dari 20 start-up domestik dalam beberapa tahun ke depan.

"Industri ini memang cenderung beresiko tinggi, tapi menjanjikan return yang menjanjikan bagi venture capitalist," imbuhnya.

Dia mengumpamakan dulu begitu banyak yang tidak percaya aplikasi Uber akan menyita perhatian begitu banyak pengguna ponsel pintar.

Alhasil, banyak investor yang menolak berinvestasi pada start-up yang 'lahir' pada 2009 itu.

Nyatanya, siapa sangka 7 tahun kemudian Uber mampu merangsek ke pasar terbesar dari berbagai perusahaan taksi konvensional di sejumlah negara.

"Bahkan, saya mendapat return 20 kali lipat dari investasi saya di Uber. Memang sangat berisiko, tapi mendatangkan return yang tinggi," tutur Bragiel yang merupakan salah satu investor putaran pertama Uber.

Pada dasarnya, imbuh Bragiel, baik seorang perintis start-up maupun seorang venture capitalist idealnya harus berani mengambil risiko.

Keduanya harus mencari peluang untuk mendobrak tren yang ada di pasar.

"Kuncinya, kita harus melihat apa efeknya dalam 5-7 tahun ke depan. Melihat apa tren market yang sekarang dan kemudian berani menjegal tren market yang ada," ujar dia

Menurutnya, sifat oportunis selayaknya sudah tertanam dalam benak ketika hendak menggeluti profesi sebagai bos start-up dan pemodal ventura.

"Dengan menjadi oportunis, kita akan tertantang mendapat hal yang tak pernah kita duga. Kalau hanya berinvestasi secara vertikal, kamu akan terjebak dalam tren pasar."

Pebisnis yang tahun ini menginjak usia ke-39 itu menambahkan sambil terbahak, "I also do the crazy investment for fun as well too!" (E-2)

Profil:

Nama: Paul Bragiel

Lahir: Chicago, 15 September 1977

Pendidikan: Sarjana teknik komputer, University of Illinois

Karier:

- Venture capitalist:

I/O ventures 2010-sekarang

Golden gate ventures 2012-sekarang

Savannah fund 2012-sekarang

Gamefounders 2012-sekarang

-CEO start-up:

CEO of Paragon Five 1999-2004

CEO of Meetro 2004-2007

CEO of Lefora 2007-2010



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya