Menulis Meredam Gelisah

Her/M-1
24/3/2016 01:45
Menulis Meredam Gelisah
(MI/PANCA SYURKANI)

JIKA harus mengurut hal-hal yang disukai seorang Eka Kurniawan, sekolah takkan pernah masuk daftarnya.

Lelaki yang tergolong introver itu selalu merasa gelisah, tidak nyaman bersekolah.

Jam masuk yang pasti, praktik di lab, pengerjaan tugas bersama, semua itu membuatnya jemu.

"Teman-temanku semangat semua tapi aku tidak, inginnya baca buku di rumah dan jalan-jalan," akunya soal gejolak yang dirasa sejak sekolah menengah pertama di Pangandaran.

Ayahnya berwirausaha, memiliki konveski kecil-kecilan yang memproduksi T-shirt, sedangkan ibunya sehari-hari berjualan baju di pasar.

Tidak ada satu pun dari mereka yang memperkenalkan dunia kepenulisan, tetapi ayahnya sering membawa pulang buku.

Perkenalannya dengan dunia kepenulisan pun dimulai lewat buku-buku yang menjadi pelariannya itu.

Di rumah, bacaannya ialah hal yang digolongkannya aman-aman saja demi dilihat orangtuanya, termasuk buku Lima Sekawan, Pippi Kaus Kaki Panjang, kisah-kisah nabi, dan sahabat-sahabat rasul.

Namun di luar rumah, Eka rajin ke taman bacaan, membebaskan dirinya untuk membaca roman picisan, komik, hingga Kho Ping Hoo.

Uang jajan mingguan dari bapaknya selalu disisakan untuk membeli majalah.

Di antara teman-temannya, dia merasa sedang-sedang saja.

"Di sekolah, teman-temanku yang lain punya prestasi tertentu, ada yang pinter banget, ada yang pinter olahraga, nah kalau aku merasa 'mediocre' (sedang-sedang) saja di segala bidang," ujarnya.

Lalu Eka mencoba menulis, dipikirnya itu sesuatu yang teman-temannya tidak bisa.

Puisinya dimuat di majalah Sahabat yang sering dibelikan ayahnya.

Ia senang.

"Aku merasa punya sesuatu yang unik yang bisa dibanggakan di antara teman-teman."

Meski tidak suka sekolah, nilainya tetap bagus.

Hal itu pula yang membuatnya pindah dari Pangandaran dan disekolahkan ke SMAN 1 Tasikmalaya yang terbilang paling bagus.

"Di situ aku justru mulai merasa ada yang salah denganku," ungkapnya.

Sejak semester kedua, dia tidak tahan lagi, memilih bolos, jalan-jalan bawa ransel naik kereta, bahkan berbulan-bulan tidak sekolah.

"Suatu hari aku pulang ke rumah sudah disambut bapakku dengan surat bahwa aku dikeluarin dari sekolah," kata dia sambil terkekeh.

Dia mulai terus terang ke orangtua, tak mau lagi sekolah karena merasa lelah.

Eka belum tahu mau melakukan apa dan mau jadi apa kelak, tetapi dia tahu pasti tidak mau sekolah.

Sulung dari enam bersaudara itu dibiarkan kedua orangtuanya berminggu-minggu di rumah, sampai akhirnya bosan sendiri dan meminta dimasukkan kembali ke sekolah dengan syarat tidak harus mengulang kelas 1 SMA, tetapi langsung ke kelas 2 sebagaimana teman seangkatannya.

Alasannya simpel, selain tidak mau malu karena turun kelas, dia tak sanggup membayangkan harus sekolah terlalu lama dengan mengulang lagi kelas 1 SMA.

Dia dimasukkan ke sekolah 'penampungan' banyak siswa yang dikeluarkan dari sekolah lain.

Di situ untuk pertama kalinya Eka bahagia bersekolah karena bebas dan membolos pelajaran pun tak mengapa.

Guru cuma minta mereka setidaknya sungguh-sungguh saat ujian.

Menulis yang sekadar hobi akhirnya menemukan wujud baru ketika Eka mulai berkuliah filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Niat awalnya kuliah bukan benar-benar ingin belajar, lebih untuk menyiasati orangtuanya.

Dia sama sekali buta soal filsafat, dipikirnya belajar bidang itu akan membuatnya menulis kalimat-kalimat indah seperti Kahlil Gibran.

Seorang kawan mengajaknya ke Yogyakarta untuk menjadi anak band.

Dia tertarik, tapi sadar bahwa kalau bukan untuk kuliah, orangtuanya takkan membiayai hidupnya di Yogya.

Maka dia pamit dengan izin untuk kuliah.

"Senanglah mereka, anak yang dikeluarin dari sekolah dan enggak suka sekolah, tiba-tiba bilang mau kuliah," Eka tertawa lepas.

Hingga kini, dia tidak tahu pasti apa almarhum ayahnya dan ibunya tahu bahwa mulanya dia membohongi mereka soal niat awal ke Kota Pelajar.

Dia menjajal jadi drumer, gitaris, bahkan vokalis, tapi petualangan sebagai anak band tidak berlangsung lama.

"Paling cuma empat bulan, terus sadar tidak punya bakat. Temanku juga begitu, ngerasa enggak berbakat, akhirnya kuliah perhotelan," tawanya lepas menceritakan perjalanan sampai Eka akhirnya kembali mencoba serius kuliah dan menemukan filsafat mengundang rasa ketertarikannya.

Meski belum sepenuhnya mengisi kegelisahan, dia menemukan semacam ruang di saat filsafat memberinya alat untuk mencari pengetahuan, imajinasi.

Puncaknya, dia sadar ingin jadi penulis.

Buku terjemahan Hunger yang ditulis novelis Norwegia Knut Hamsun dibacanya saat kuliah.

Itu novel pertama yang sangat membekas dan mengganggunya hingga memutuskan jadi penulis.

Tokoh di novel itu mencoba membebaskan dirinya dari segala hal, memilih sepenuhnya 'mengabdi' pada apa yang dia inginkan, yakni menjadi penulis.

Meskipun dalam perspektif orang lain dia menderita, gembel, kelaparan, hampir tanpa masa depan, dia merasa hidup merdeka dalam pilihannya sendiri.

"Anehnya aku merasa itu hidup yang menyenangkan karena dia sangat berbeda dengan standar umum. Dalam hatiku aku berkata, ternyata ada orang yang seperti itu, ternyata bisa."

Saat menulis, Eka menjawab kegelisahan dan mengisi kekosongan yang selama ini dirasakannya.

Bagi Eka, menjadi penulis itu membebaskan. Dia tidak pernah bermimpi akan ada sampai di titik ini, dibanjiri pujian dan mendapatkan penghargaan bergengsi untuk penulis-penulis internasional.

Dia hanya ingin menulis sesuatu yang baik dan bagus, menulis dengan kualitas novelis-novelis besar yang memengaruhinya dulu.

Novel dan sastra ibarat memprovokasi pikiran, membuka cara pandang baru yang sebelumnya tidak diketahuinya, mengajarinya cara baru melihat segala sesuatu.

"Karya-karya penulis besar dulu sukses mengganggu pikiranku dan aku ingin bisa mengganggu pikiran orang lain dengan cara yang sama," tutupnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya