Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Deteksi Dini Tsunami dengan Cable Base Tsunameter

MI
22/8/2020 00:35
Deteksi Dini Tsunami dengan Cable Base Tsunameter
(Sumber: BPPT/Tim Riset MI-NRC)

LOKASI Indonesia yang berada di antara ring of fire membuat negara ini rentan mengalami bencana gempa dan tsunami. 

Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Yudi Anantasena mengungkapkan, sebagai upaya antisipasi, , telah menerapkan sistem cable base tsunameter (CBT), yakni kabel pendeteksi bencana tsunami sejak 2019 lalu.

“Ini sistem kabel yang ditanam di dasar laut kemudian kita pasang sensor. Nanti ujungnya yang di pantai itu kita punya station untuk mengirim data,” kata Yudi saat dihubungi Media Indonesia, beberapa waktu lalu.

Yudi menuturkan, CBT memiliki banyak kelebihan seperti perawatannya relatif lebih sederhana jika dibandingkan dengan buoy yang sudah digunakan selama ini. Selain itu, buoy lebih rentan dirusak karena vandalisme dan dijadikan tambak nelayan.

Terpisah, Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa Wahyu Widodo Pandoe menjelaskan sistem akustik dalam teknologi hibrida pendeteksi tsunami serupa konsepnya dengan jaringan massal dalam telekomunikasi.

Termoklin, lapisan tipis di dalam laut berkedalaman 100 hingga 200 meter yang mengalami perubahan temperatur ekstrem seiring perubahan kedalaman, akan dimanfaatkan sebagai bidang pantul dalam sistem akustik bawah air yang menyampaikan data berkenaan dengan kedatangan tsunami. Lapisan itu dimanfaatkan untuk memperpanjang jangkauan komunikasi di bawah laut.

“Kalau pakai kabel, terlalu mahal. Jadi, konsep selular di bawah air ini yang digunakan. Jadi, nanti hanya butuh kabel di stasiun pertama dan land base station (stasiun di darat). Nah, itu nanti dikoneksikan ke stasiun lain, ke bottom pressure recorder (pencatat tekanan dasar) dan lain-lain, (datanya) bisa di-delivery (dikirim) hingga ke kantor pusat BPPT. Banyak metering yang bisa digunakan untuk itu, bisa GSM atau satelit,” kata Wahyu.

Hingga saat ini belum ada teknologi yang dapat memastikan kapan gempa terjadi, tetapi tsunami yang mengikutinya dapat dideteksi. Oleh karena itu, penguatan sistem deteksi dini tsunami menjadi pilihan dalam upaya menyelamatkan lebih banyak orang dari bencana.

Pada 2019 CBT telah dipasang di dua lokasi, yakni di Pulau Sertung di sekitar Gunung Anak Krakatau dan Pulau Sipora di Perairan Menta wai. Juli lalu, dilakukan perbaikan CBT di Pulau Siberut, Mentawai, Sumatra Barat.

Yudi mengaku pemasangan CBT memang terbilang lebih rumit dan mahal. Oleh sebab itu, alat tersebut hanya akan diletakkan di lokasi-lokasi prioritas yang rawan dan memiliki populasi masyarakat yang cukup besar.

“Kita akan tetap hidup dengan bencana itu karena kita berada di ring of fire. Alat tersebut hanya membantu kita untuk mendapatkan peringatan yang sedikit lebih cepat, artinya maksimal 20-30 menit, jadi tidak terlalu cepat juga. Masyarakat juga harus lebih terbiasa dengan kondisi seperti itu,” tandasnya. (Atikah Ishmah Winahyu/Ant/H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya