Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
MENYATUKAN pemahaman dan memberikan perhatian lebih kepada warga masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan lahan gambut menjadi hal utama untuk meminimalisasi maraknya titik api pada tahun ini.
Demikian salah satu hal yang mengemuka dalam diskusi kelompok terfokus bertema Pengelolaan lahan gambut lestari untuk meminimalisasi titik api 2016 yang berlangsung di gedung Media Group, Selasa (1/3).
Sebagaimana diutarakan peneliti dari Center of International Forestry Research (Cifor) Herry Purnomo. Menurut Herry, persoalan kebakaran lahan amatlah kompleks dan beragam pemicunya. Penyebab yang paling umum ditemukan ialah pembakaran dilakukan dalam rangka ekspansi perkebunan.
“Tetapi saya juga pernah menemukan bagaimana seorang pegawai pabrik yang tidak diberikan pinjaman oleh atasannya lalu membakar perkebunan perusahaannya sendiri,” kata Herry dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Media Research Center, lembaga riset di bawah Media Group tersebut.
Oleh karena itu, Herry menekankan pentingnya pemerintah, korporasi, dan masyarakat bahu-membahu mengawasi hutan. “Pemetaan sosial menjadi instrumen penting selain pemetaan lahan gambut dan hidrologinya.”
Senada dengan pernyataan Kepala Pusat Studi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Universitas Palangkaraya Darmae Nasir. Nasir menilai warga masyarakat harus disejahterakan terlebih dulu agar kesadaran mereka tumbuh untuk menyelamatkan lingkungan.
“Caranya, beri mereka resource. Rakyat juga harus disejahterakan lewat pemanfaatan hutan,” ujar Nasir.
Secara teori, lanjut Nasir, kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan tumbuh ketika mereka makmur. “Tingkat kesejahteraan membuat masyarakat well educated. Kalau warga di sekitar hutan masih miskin, ya mereka hanya memikirkan perut.”
Managing Director of Sustainability and Stakeholder Engagement Asia Pulp and Paper Aida Greenbury menyarankan agar korporasi mengubah cara pikir konvensional yang mengesam pingkan masyarakat dalam menjalankan usaha di sektor kehutanan.
“Selama ini kami hanya menjadikan masyarakat itu objek. Kini sudah saatnya mereka menjadi mitra dalam pengembangan usaha ini,” ungkap Aida.
Aida lalu menekankan pentingnya kolaborasi antardunia usaha untuk melakukan mitigasi bencana kebakaran lahan. Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi titik api yang melintas ke lahan lain, atau dalam bahasa Ketua Perhimpunan Gambut Indonesia Supiandi Sabiham, “Harus ada regulasi yang jelas terkait kepemilikan lahan. Kolaborasi perusahaan dengan masyarakat juga harus terjalin baik.”
Pentingnya revegetasi
Di sisi lain, pakar ekologi dari Universitas Gadjah Mada Tjut Sugandawati menengarai masalah utama yang terjadi pada lahan gambut di Indonesia justru berasal dari kekeliruan sistem hidrologi. Artinya, tidak terjaganya sistem hidrologi menjadi penyebab utama keringnya lahan gambut sehingga menjadi mudah terbakar. Hal itu diperparah lagi dengan penghilangan sifat dan tumbuhan endemik asli yang ada di lahan gambut sejak ribuan tahun silam juga menyumbang kerusakan yang terjadi saat ini.
“Kita melihat jutaan hektare lahan gambut berubah menjadi kawasan hutan monokultur dengan penanaman sawit secara masif,” tutur Tjut.
Menurut Tjut, gambut secara alami dapat dimanfaatkan apabila kita membiarkan revegetasi selayaknya yang terjadi sebelum dimulainya era penanaman sawit sebagai bahan baku industri berskala besar.
Dengan adanya perbaikan hidrologi dan revegetasi, lanjut Tjut, lahan gambut baru bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian, tetapi tidak merusak ekologi secara dahsyat.
Tata ruang keliru
Direktur Green Network Indonesia Transtoto Handadhari mengakui kesalahan konsep tata ruang yang terjadi hampir di seluruh kawasan hutan dan lahan gambut menjadi pekerjaan utama yang harus dituntaskan.
Kesepahaman konsep tata ruang sesuai UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah hingga kini masih menjadi kendala.
“Masalah otonomi daerah itu paling membuat gaduh. Banyak daerah mengartikan konsep tata ruang sebagai landasan pembagian kawasan hutan untuk dimanfaatkan. Padahal, konsep tata ruang dalam undang-undang itu mengatur suatu kawasan dari berbagai risiko bencana. Seperti terjadi di kawasan gambut sekarang, ini seperti bunuh diri sehingga harus segera dibenahi,” tandas Transtoto.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Purwadi sependapat jika pemetaan menjadi hal utama yang harus dilakukan. “Kami butuh itu untuk bekerja sama dan memanfaatkan lahan gambut tanpa merugikan pihak tertentu.”
Dalam pandangan Darmae Nasir, lemahnya perlindungan hutan dan lahan gambut selama ini karena ketidakjelasan tanggung jawab yang berakibat tidak tuntasnya pengaturan tata ruang wilayah.
“Itu karena rencana tata ruang yang hingga kini tidak kunjung selesai. Persoalan terbesar bagi kita untuk masalah api ialah bagaimana memproteksi area yang dikuasai pemerintah dan komunitas. Untuk perusahaan, tinggal masalah penegakan hukum,” jelas Nasir.
Dari faktor proteksi, 57% narasumber yang mengikuti diskusi kelompok terfokus menilai ketidakjelasan status kepemilikan di sekitar konsesi menjadi masalah utama.
Akibatnya, lahan dapat digarap oleh siapa saja (open access) tanpa aspek perencanaan dan legalitas yang benar. Dari situ, tidak hanya kebakaran lahan yang terjadi, tetapi juga konflik terkait dengan penguasaan.
Hambali, salah seorang perwakilan warga masyarakat dari Jambi yang mengemukakan perlunya pengaturan kembali status lahan beserta batas-batasnya.
“Ini menjadi hal krusial dalam perlindungan hutan dan gambut. Saya menilai pentingnya penataan tapal batas karena sering menimbulkan persoalan. Bahkan, pembakaran terjadi karena ketidakjelasan tapal batas. Apakah itu batas antardesa, batas antardesa dengan perusahaan, batas antardesa dengan hutan lindung atau dengan hutan produksi.Ketika semua sudah mulai tertata, baru kita mendorong dan mendidik warga masyarakat untuk membuat perencanaan dan pemanfaatan lahan,” imbuh Hambali.
Saat ini, Badan Restorasi Gambut (BRG) sudah mengeluarkan moratorium pemberian izin baru dan tata kelola hutan. Hal ini dilakukan untuk kepentingan pemetaan ekologi gambut agar program restorasi dapat dilakukan lebih cepat.
Ke depan, kawasan gambut akan terbagi menjadi tiga zonasi, yakni lahan yang harus direstorasi karena telah rusak, lahan gambut yang tidak boleh tersentuh untuk dilestarikan, dan lahan gambut yang dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi warga dan pemerintah. (Pro/X-4)
richaldo@medaindonesia.com
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved