Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
BERKACA dari kejadian tsunami di tahun-tahun lalu, program pengurangan risiko bencana tsunami perlu dilakukan secara kontinu. Sayangnya, program itu mandek karena sejumlah kendala.
"Tahun 2013-2014 masterplannya pernah berjalan, termasuk soal pendanaannya, tapi hanya sekali itu. Setelah itu tidak ada lagi dana khusus untuk tsunami," ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho saat konferensi pers Update Gempa dan Tsunami Mentawai di Jakarta, Kamis (3/3).
Dalam rencana induk itu, lanjut Sutopo, ditegaskan bahwa pengurangan risiko bencana tsunami menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah.
Dana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan selama lima tahun sekitar Rp11 triliun.
Namun faktanya, rata-rata alokasi ang-garan untuk tsunami dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) saat ini tidak lebih dari 0,02%.
Raja Ampat, misalnya, wilayah yang termasuk berpotensi tsunami itu hanya menganggarkan Rp600 juta.
"Masterplan itu mencakup empat prog-ram. Banyak yang harus dilakukan, tapi tahun 2013-2014 lalu anggarannya tidak sampai Rp1 triliun," katanya.
Di antara empat program itu, salah satunya ialah penguatan rantai peringatan dini tsunami.
Idealnya, dibutuhkan 1.000 sirene untuk mengover wilayah-wilayah berpotensi tsunami dengan radius 2 km persegi.
Akan tetapi, saat ini baru ada 55 sirene dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang terpasang di 19 provinsi serta 200-an sirene berbasis komunitas.
"Selter kita juga terbatas hanya ada sembilan. Padahal gempa bumi dan tsunami tidak bisa diprediksi," ucapnya.
Andalkan negara lain
Sutopo menambahkan, saat ini Indonesia hanya bisa mengandalkan lima alat konfirmasi ada tidaknya tsunami atau yang disebut buoy milik negara lain.
Satu unit di barat Aceh milik India, 1 unit di Laut Andaman milik Thailand, 2 unit di Selatan Sumba dekat Australia milik Australia, dan 1 unit di utara Papua milik Amerika Serikat.
"Sebenarnya peneliti Indonesia dari BPPT (Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi) mampu membuat buoy berstandar internasional dan itu pernah terbukti."
Secara terpisah, pakar teknologi buoy yang juga peneliti di BPPT, Wahyu Pandu, menegaskan ada delapan buoy buatan Indonesia yang pernah dipakai di selatan Jawa, Samudra Hindia barat Sumatra, Flores, Laut Banda, dan Laut Maluku.
Saat gempa September 2007 silam di Bengkulu, alat tersebut terbukti berhasil mendeteksi potensi tsunami.
Namun harus diakui, daya tahan buoy yang terbuat dari fiberglass itu hanya berkisar 4-5 tahun.
Selepas itu, buoy yang dipasang di tengah laut itu harus diganti.
Menurutnya, saat ini minimal harus ada empat buoy lagi yang dipasang.
Dua di selatan Jawa Barat dan Jawa Timur, dua lainnya di sekitar Padang dan Bengkulu.
"Buoy ini harus ada, tapi biaya operasio-nalnya sangat mahal. Biaya kapal Rp125 juta per hari, sedangkan untuk operasional buoy yang terdekat saja kita butuh minimal 10 hari," tandasnya. (H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved