Obat AINS Berbahaya Bagi Pasien DBD

Puput Mutiara
03/3/2016 19:16
Obat AINS Berbahaya Bagi Pasien DBD
(ANTARA/Darwin Fatir)

DEMAM berdarah dengue (DBD) termasuk salah satu penyakit mematikan apabila tidak ditangani secara tepat. Satu-satunya obat yang disarankan oleh Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) untuk mengobati demam yang terkait DBD hanya parasetamol.

Akan tetapi, faktanya, berdasarkan hasil survei GSK Consumer Healthcare Indonesia terhadap 401 responden pada Oktober 2015, sebanyak 38% pasien DBD di bawah usia 12 tahun meminum obat asam asetilsalisilat dan anti inflamasi nonsteroid (AINS) ketika mengidap demam.

Padahal, menurut Guru Besar Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI Sri Rezeki Hadinegoro, obat AINS seperti ibuprofen sangat berbahaya bagi pasien DBD karena akan meningkatkan risiko gangguan lambung dan pendarahan.

"Orang biasanya panik demam tinggi (>38 derajat celcius). Tapi perlu diketahui ada obat yang kontra indikasi dengan dengue, jadi beri obat panas yang tidak merangsang lambung," ujarnya saat peluncuran Gerakan Nasional Bersama Melawan Demam Berdarah di Jakarta, Kamis (3/3).

Selain ibuprofen, sejumlah obat-obatan yang harus dihindari oleh penderita DBD antara lain asetosal dan asam mefenamat. Apalagi, jika sudah disertai gejala lain seperti nyeri di beberapa bagian, mimisan, serta timbul bintik-bintik merah di kulit.

Biasanya, ungkap Sri, gejala tersebut terjadi pada hari kedua sampai hari ketujuh. Ada tiga fase perjalanan penyakit DBD, yakni tiga hari pertama demam, tiga hari berikutnya disebut fase kritis, lalu penyembuhan.

"Kalau di hari ketiga demam belum membaik, sebaiknya bawa ke dokter. Yang jelas orang tua perlu tahu apa itu DBD dan bagaimana cara penanganannya," cetusnya.

Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan bahwa meskipun angka kematian DBD tidak sampai 1% pada anak tetapi secara keseluruhan DBD masih menjadi masalah.

Dari 250 juta penduduk Indonesia, 90 juta diantaranya anak-anak yang bisa jadi berpotensi mengidap DBD. Terutama mereka yang berada di lingkungan yang tidak dengan potensi perkembangbiakan jentik nyamuk.

Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Tahun 2015, masih ada delapan provinsi yang insiden rate-nya berada di atas target pemerintah (51 : 100 ribu penduduk). Padahal, ditargetkan tahun 2019 terjadi penurunan hingga 49 : 100 ribu penduduk.

"Setiap daerah mestinya diimbau untuk mengatasi persoalan jentik nyamuk. Harus ada edukasi untuk awarness mengenai hal itu," tandasnya.

Hal senada diungkapkan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes Vensya Sitohang. Menurutnya, perlu upaya nyata untuk penanganan DBD di Indonesia dengan melibatkan semua pihak.

Sesuai amanat UU Kesehatan No 36/2009, alokasi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) untuk layanan kesehatan sebesar 5%. Di daerah, anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) juga mesti ada alokasinya minimal 10%.

"Jadi ini adalah tanggung jawab kita bersama," kata dia.

Lebih lanjut, menurutnya, ke depan masih banyak tantangan yang harus dihadapi seperti makin luasnya sebaran virus penyakit hingga menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di beberapa daerah. Selain itu, partisipasi masyarakat juga masih sangat rendah.

"Edukasi sangat penting agar semua pihak bisa ikut mencegah terjadinya DBD," pungkas Vensya. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Aries
Berita Lainnya