Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
UNDANG-Undang No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)-III, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menegaskan bahwa orientasi seksual meliputi heteroseksual, homoseksual dan biseksual tidak dikategorikan sebagai gangguan jiwa, kecuali jika menyebabkan disfungsi dan distress.
Sedangkan, transseksualisme atau yang sering disebut transgender merupakan gangguan identitas jenis kelamin berupa hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, yang biasanya disertai pula dengan perasaan tidak sesuai anatomis seksual hingga menginginkan untuk memperoleh terapi hormonal dan pembedahan agar tubuhnya menjadi semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.
“Pegangan psikiater Indonesia, yakni PPDGJI, menegaskan bahwa orientasi seksual bukan termasuk gangguan jiwa kecuali menyebabkan disfungsi dan distress. Gejala-gejala yang ditimbulkan psikiatri biasanya seperti cemas, depresi gangguan fisik akibat masalah psikologis, gangguan adaptasi dan lainnya,” terang Elisa Tandiono, psikiater Rumah Sakit Pantai Indak Kapuk saat dihubungi, Sabtu (20/2).
Berdasarkan PDSKJI, LGB dapat dikategorikan sebagai orang dengan masalah kejiwaan tetapi bukan termasuk ke dalam gangguan jiwa. Ada pun perbedaannya adalah, Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) mempunyai masalah fisik, mental dan sosial, pertumbuhan dan perkembangan atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa.
Sementara Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku serta menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Karena itu, menurut PPDGJ-III, transgender dapat dikategorikan sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Namun, tidak semua OMDK akan berkembang menjadi ODGJ. Sebab terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya gangguan kejiwaan pada seseorang, antara lain faktor genetik, neurobiologik, psikologik, sosial, budaya dan spiritualitas.
Elisa menambahkan, pada pasien egodistonik atau orang yang tidak dapat menerima orientasi dan konsekuensi orientasi seksualnya namun berkeinginan untuk berubah, maka hal yang dapat dilakukan adalah melalui penyadaran terhadap homoseksualitas itu sendiri.
“Tugas praktisi jiwa membantu termasuk kalau pasien ingin berubah. Perlu disadari homosekualitas juga bergradasi. Kalau cenderung biseksual tentunya lebih mudah,” imbuhnya.
Sementara, pada homoseksual egosintonik atau orang yang telah menerima orientasi dan konsekuensi, tidak memerlukan terapi. Akan tetapi psikoterapi dapat diberikan apabila dasarnya lebih mengarah pada biseksual, dimana adanya ketertarikan secara seksual kepada lawan jenis.
Hal tersebut agar pasien dapat memilih dan menjalankan pilihan hidupnya dengan pikiran yang dewasa dan perasaan yang tenang dan bahagia.
“Sedangkan kalau untuk homoseksual murni, berbagai terapi aversi homoseksual atau terapi merubah perilau homoseksual selama puluhan tahun tidak efektif, dapat menimbulkan perasaan membenci diri dan menjurus pada depresi.”
Dengan begitu, untuk mengatasi permasalahan orientasi seksual, pasien dapat diberikan terapi konseling berupa assestment atau penilaian masalah dan gejala, psikoterapi dengan Cognitive Behavior Therapy (CBT), psikoterapi supportif, dan lainnya yang disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan pasien. (OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved