Lima Indikator Kemiskinan

Fetry Wuryasti
08/2/2016 13:55
Lima Indikator Kemiskinan
(Antara/Rivan Awal Lingga)

BADAN Pendidikan Dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Yogyakarta mengkaji konsep dan indikator kemiskinan dalam upaya tercapainya sasaran spesifik penanggulangan kemiskinan di Indonesia.

Selama ini, tim melihat konsep dan indikator kemiskinan masih hanya menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator. Padahal fenomenal kemiskinan di Indonesia multidimensi. Sehingga bila hanya berdasarkan pendapatan, program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan akan kurang efektif dan efisien.

“Multidimensi yang diuji sebagai indikator pembentuk kemiskinan di Indonesia antara lain, lima dimensi kemiskinan, yaitu sosial, psikis, budaya dan politik. Sehingga dengan demikian dapat ditemukan konsep kemiskinan, indikator kemiskinan makro atau secara nasional, dan lokal untuk menjadi acuan pengentasan kemiskinan pada level nasional dan regional,” ujar Kepala Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Yogyakarta Benny Setia Nugraha di Jakarta.

Hasil pengujian yang dilakukan timnya selama 6 bulan mulai Juli – Desember 2015 di 34 Provinsi, 68 kota/kabupaten dan 340 kecamatan, 40.775 responden dengan jumlah anggota keluarga 161.772 jiwa seluruh keluarga miskin Indonesia yang teregister menerima layanan program pemerintah menunjukkan kemiskinan di Indonesia berhasil direpresentasikan secara signifikan oleh lima indikator dimensi pembentuk, yaitu ekonomi, sosial, psikis, budaya dan politik.

“Ini terlihat dari nilai muatan faktor standar untuk keempat variabel berada di atas 0,50 yang berarti berkontribusi besar terhadap kemiskinan. Di antara keempat dimensi, dimensi sosial memiliki muatan faktor standar terbesar (0.78), menyusul dimensi psikis (0,77), dimensi budaya (0,72) dan dimensi ekonomi (0,66),”

Sementara dimensi politik berpengaruh kecil terhadap pembentuk kemiskinan nasional terlihat dari nilai muatan faktor standarnya sebesar 0.46 atau di bawah 0.50. Ini berarti, meski secara politik orang miskin sudah dilibatkan dalam pengambilan keputusan namun dalam kenyataannya kurang berdampak secara langsung terhadap kehidupan sehingga mereka tetap berada dalam kondisi miskin.

“Fakta di lapangan, orang miskin tetap memiliki keterbatasan dalam memanfaatkan potensi dan sumber yang ada di lingkungannya,” tukas Benny. (X-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gaudens
Berita Lainnya