Di Balik Ketatnya Penangkapan Ikan

Siti Retno Wulandari
06/2/2016 07:30
Di Balik Ketatnya Penangkapan Ikan
(ANTARA/PRADITA UTAMA)

SUDAH hampir satu tahun lebih, tiga kapal penangkap ikan milik PT Ocean Mitramas bersandar dan tidak melaut. Pemutusan hubungan kerja pun (PHK) dilakukan perusahaan tersebut sebagai cara untuk bertahan hidup meskipun tak ada pemasukan yang didapat.

Esther Satyono, pendiri perusahaan tersebut mengaku tiga kapal penangkap ikannya tidak bisa bekerja lantaran aplikasi pengurusan surat izin penangkapan ikan (SIPI) tidak diterima. Sejak diberlakukan moratorium pelarangan operasi bagi kapal eks-asing, perusahaannya tidak bisa lagi mengambil ikan di wilayah yang jauhnya ratusan mil dari daerah Biak, Papua.

Surat izin penangkapan ikan ( SIPI ) adalah surat izin yang harus dimiliki setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia dan atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari izin usaha perikanan (IUP) yang selanjutnya disebut surat penangkapan ikan (SPI). SIPI harus dimiliki, kecuali bagi kapal perikanan tidak bermotor dan kapal perikanan bermotor dalam dan motor luar yang berbobot kurang dari 5 GT dan atau dengan kekuatan mesin tidak lebih dari 10 PK dan berbobot lebih dari 10 GT dan atau dengan berkekuatan lebih dari 30 PK.

“Bukan kapal eks-asing, tetapi kapal buatan asing. Izin usaha dan benderanya saja Indonesia kok. Sudah satu kapal kami diperiksa oleh satgas (satuan tugas), tetapi belum juga ada hasilnya. Kalau memang ada yang salah langsung katakan dan buka secara transparan,” ujar Esther saat dihubungi, kemarin.

Esther mengaku tidak masalah kapalnya diperiksa, hanya saja ia membutuhkan hasil dari pemeriksaan sehingga bisa dibenahi jika memang ada yang tidak sesuai. Perusahaan yang sudah bergerak di bidang perikanan selama 23 tahun itu memiliki 14 kapal dengan kapasitas beragam mulai dari 100-700 GT. Akan tetapi, hanya tiga kapal yang dipergunakan untuk menangkap ikan.

Esther juga mengaku alat tangkapnya terbilang ramah lingkungan karena hanya dengan menggunakan pole and line (huhate). Bukan hanya merugikan pihaknya, melainkan juga merugikan nelayan yang menjadi mitra dari perusahaan. Sekitar 2 ribu nelayan di daerah timur Indonesia kini hanya sebatas melaut untuk kebutuhan sehari-hari.

“Kami bermitra, memfasilitasi nelayan lokal/tradisional agar mendapat penghasilan ikan yang lebih banyak. Yang terpenting, kami segera diberi tahu hasil pemeriksaan dan bisa diizinkan beroperasi kembali,” tambahnya.

Tiga persoalan utama
Sulitnya mendapatkan SIPI dikatakan pula oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim. Namun, ia menilai baru munculnya permasalahan SIPI saat ini justru karena langkah lebih hati-hati pemerintahan saat ini. Maka, hal ini tidak selalu berarti buruk.

Pada pemerintahan sebelumnya, ia menilai permasalahan SIPI tidak muncul karena operasi yang tidak peka terhadap tiga permasalahan utama di industri penangkapan ikan, yakni pencurian ikan, alat tangkap merusak, juga persoalan pajak.

Dengan lebih ketatnya operasi, Halim menghitung ada sekitar 1.200 kapal yang memiliki masalah perizinan. “Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan tangkap sangat hati-hati dalam menerbitkan SIPI karena terkait dengan banyaknya kapal besar yang menggunakan alat tangkap merusak. Hal ini bagus untuk melindungi nelayan-nelayan lokal kita,” tukas Halim.

Namun, Halim menyampaikan saran kepada pemerintah agar membuka secara transparan kapal-kapal yang bermasalah. Jika ada yang bisa diperbaiki untuk kembali mendapatkan SIPI, harus dijelaskan pula secara rinci agar para nelayan ataupun pelaku usaha yang mau berkomitmen ramah lingkungan kembali bekerja.

Kementerian Kelautan dan Perikanan juga diminta untuk meningkatkan target pendapatan negara serta melakukan analisis mengapa potensi besar yang dimiliki laut Indonesia berbanding terbalik dengan pendapatan yang diterima.

Mudah asal lengkap
Direktur Pengendalian Penangkapan Ikan, Saifuddin, mengatakan terdapat dua kendala yang biasanya ditemui dalam pengajuan tersebut, baik dari pihak pemohon maupun dari pihak pengurus. Sering kali kekurangan syarat yang telah disampaikan pihak pengurus, tidak segera ditanggapi dan dilengkapi sehingga prosesnya menjadi lebih lama.

“Pengurusan dokumen kapal itu dipegang Kementerian Perhubungan dan izin penangkapan ada di kami (KKP). Saat ini kami sudah bersinergi dengan Kemenhub untuk melakukan pengukuran ulang pada kapal perikanan izin provinsi,” ujar Saifuddin melalui pesan elektronik.

Biasanya ketidaklengkapan dan ketidakakuratan data pendukung dari pihak pemohon ialah terkait dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan kesiapan kapal ketika akan dilakukan pengukuran ulang. Sementara dari pihak pengurus, sering kali berhubungan dengan Grosse Akta maupun Buku Kapal Perikanan. Namun, Saifuddin memastikan kendala pada pengurus sudah diselesaikan karena sudah dilakukan sinergi antarkedua lembaga tersebut.

Perihal rekomendasi alat tangkap dan ukuran kapal yang memerlukan SIPI, hal itu telah dimuat melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No 2/Permen-KP/2015. Beberapa contoh alat tangkap yang bisa digunakan, seperti pancing rawai (long line), huhate, pancing ulur, dan pancing cumi. Sementara, terkait dengan izin, Saifuddin juga membenarkan kapal dengan kapasitas di bawah 5 GT cukup melakukan pendaftaran kepada Dinas Kelautan dan Perikanan setempat.

“Proses permohonan juga bisa dilacak melalui situs kami pada www.perizinan.kkp.go.id, pun dengan keterbukaan informasi kapal-kapal yang bermasalah,” pungkasnya. (M-3)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya