Bakso Teroris

Suprianto Annaf, Redaktur Bahasa Media Indonesia
24/1/2016 16:30
Bakso Teroris
(Dok.MI)

AKSI teror di Jl MH Thamrin, Jakarta, memang sudah berlalu. Ulasan berita di koran dan televisi pun sudah mulai sayup. Hanya sesekali menghiasi lembaran berita dan layar kaca. Selebihnya, peristiwa direkam dan menjadi sejarah. Bisa juga berlalu begitu saja. Lupa.

Memang ada pula yang mengingatnya dengan menjadikannya nama. Misalnya saja, untuk mengenang Tragedi Semanggi 1998 muncul sebuah warung makan yang bernama Warung Semanggi. Pun di awal Orde Reformasi, ada sebuah tempat bernama Kafe Reformasi, Sate Senayan, dan Warung Perjuangan Mahasiswa.

Baru-baru ini satu peristiwa teror terjadi: aksi bom bunuh diri. Sungguh mengagetkan. Sontak mendapat simpati dengan tekad berani memerangi. Muncul pula ekspresi dan deklarasi. Tak ketinggalan nama kuliner ini: bakso teroris.

Tentu banyak alasan atas kemunculan namanama itu. Bisa karena memberi simpati, menghargai, atau sekadar membuatnya abadi. Bisa juga spontanitas pribadi untuk melabeli karya dan hasil produksi: mengais rezeki.

Secara semantik, tidak ada hubungan langsung antara nama dan referensi yang diwakili. Penamaan Warung Semanggi, Kafe Reformasi, Sate Senayan, dan Warung Perjuangan Mahasiswa merupakan hal semena. Tidak berkaitan makna antara Warung Semanggi dan peristiwa Semanggi. Warung Semanggi merupakan tempat makan sederhana yang tak berbeda dengan warteg. Biasa menjadi tongkrongan mahasiswa karena ada di dekat kampus. Sebaliknya, peristiwa Semanggi terkait erat dengan aksi mahasiswa dalam memperjuangkan reformasi.

Juga tidak ada kaitan nama warung bakso dengan kata teroris. Penamaan itu bukan karena bentuk bulat bakso menyerupai bom. Bukan pula karena penjualnya mantan teroris. Namun, pelabelan kata teroris pada bakso semata-mata hanya karena sensasi rasa dan kesan pedas. Bila sudah dikunyah, bakso pun 'meledak' memberi rasa enak. Penyuka bakso ini akan 'terteror' untuk selalu menikmati.

Ada pula menu ceker teroris. Diolah dengan bumbu khusus, yang disebut radikal oleh pemiliknya, menjadikan menu ceker teroris memiliki rasa pedas yang ekstrem di mulut. Warung yang berdiri di depan kampus Ubaya Surabaya itu juga tidak ada kaitan dengan aksi teror. Tak berkorelasi.

Dari aspek sosiolinguistik, fenomena penamaan di atas merupakan realisasi dari aktivitas berpikir manusia. Nama teroris pada kata bakso dan ceker merefleksikan kondisi sosial masyarakat saat ini. Semua yang terjadi direkam untuk dimaknai. Dengan aksi teror terjadi, penutur bahasa merespons secara simultan: menanggapi.
Pelabelan seperti ini tentu bukan yang pertama terjadi. Saat stasiun televisi menayangkan acara bertema setan atau hantu, muncul warung-warung kuliner yang menyeramkan. Sebagai misal, muncul bakso setan, sambal iblis, nasi pocong, mi neraka, es buto ijo, dan nasi goreng gentanyangan.

Terakhir, kreasi nama seperti di atas akan selalu ada karena bahasa akan merekam segala hasil pikir manusia. Bisa untuk dikenang agar diingat lama. Karena itu, bukan tidak mungkin akan ada warung Gafatar dan warung radikal. Nama-nama itu memang tidak ikonis, tapi tetap memiliki sejarah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya