Menantang Senja Kala

Usman Kansong/Direktur Pemberitaan Media Indonesia
19/1/2016 07:41
Menantang Senja Kala
(Dok.MI)

SYAHDAN, pada 1854, fisikawan Jerman Hermann von Helmholtz menyadari bahwa hukum termodinamika dapat diterapkan pada alam semesta secara keseluruhan. Hukum kedua, dari tiga hukum termodinamika, membahas apa yang disebut entropi. Entropi bermakna ketidakteraturan.

Sudah menjadi hukum alam bahwa suatu perubahan atau proses yang dapat terjadi dengan sendirinya (spontan) cenderung berlangsung menuju keadaan yang lebih tidak teratur atau peningkatan derajat ketidakteraturan (entropi). Itu artinya, alam semesta dan segala yang ada di dalamnya pada waktunya akan hancur, musnah, binasa.

Akan tetapi, manusia terus menantang proses entropi, sekurang-kurangnya menunda kehancuran. Bila entropi terjadi pada proses spontan, manusia menantangnya dengan upaya yang tidak spontan, entah itu intervensi, rekayasa, atau adaptasi. Kloning, rekayasa genetika, perbaikan gizi dan pola hidup, sampai bertaburannya klinik, obat, atau kosmetik antipenuaan merupakan upaya menantang entropi. Upaya-upaya itu menunjukkan hasil, antara lain, kita saksikan dari meningkatnya usia harapan hidup manusia.

Bahkan, konon ada ilmuwan yang terus meneliti untuk mengusahakan agar kelak kehidupan bisa kekal. Kebanyakan kita mungkin menyebut usaha sang ilmuwan amat tidak mungkin, cuma utopia. Bahkan sebagian kita barangkali memvonis sang ilmuwan melawan takdir. Akan tetapi, itu setidaknya menunjukkan manusia senantiasa berusaha menantang dan melawan entropi. Bukankah berusaha bukan dosa?

Dalam dunia media, entropi ialah senja kala. Ia menggambarkan hidup media cetak yang meredup dan cepat atau lambat binasa dari proses komunikasi manusia. Philip Meyer dalam buku The Vanishing Newspaper meramalkan koran terbit terakhir pada 2043.

Penyebabnya, perkembangan tak terbendung teknologi digital. Korbannya banyak. Cobalah lihat beberapa koran atau majalah, baik di Indonesia maupun mancanegara, yang say goodbye.

Namun, para pengelola media cetak berupaya menantang senja kala, sebagaimana para fisikawan dan ilmuwan melawan entropi. Perlawanan serupa pernah dilakukan para pengelola radio.

Pada 1940-an, orang meramalkan radio bakal tamat riwayatnya, the end of radio. Penyebabnya, kehadiran teknologi televisi. Buat apa cuma menikmati suara bila kita bisa menikmati suara dan gambar sekaligus? Faktanya, radio hingga kini tetap sehat walafiat, bahkan lebih bugar. Resepnya adaptasi. Ya, adaptasi ialah kata kunci melawan entropi, menantang senjakala. Namun, adaptasi saja tidak cukup. Adaptasi sekadar adaptasi ialah adaptasi reaktif. Yang kita butuhkan untuk memenangi pertarungan ialah adaptasi kreatif.

Adaptasi kreatif itulah yang kami, Media Indonesia, lakukan untuk menantang senja kala. Adaptasi kreatif yang kami lakukan sangat luas ruang lingkupnya, mulai peneguhan nilai-nilai jurnalistik, teknik pengemasan pemberitaan, perluasan dan integrasi platform, regenerasi pembaca, hingga pengembangan lini usaha baru.

Kami berkomitmen menegakkan nilai-nilai jurnalisme, terutama akurasi dan verifikasi. Akurasi dan verifikasi itulah yang sering absen dalam jurnalisme daring atau digital. Kami berupaya memberitakan hari ini dan esok. Kami tidak memberitakan sejarah. Sejarah sudah diberitakan media daring dan digital, juga televisi.

Ketika Ketua DPR Setya Novanto mundur dari jabatannya karena dugaan pelanggaran etika, harian ini tidak membuat judul 'Novanto Akhirnya Mundur'. Media Indonesia memilih angle bagaimana nasib Novanto di masa depan. Kami pun menulis judul 'Proses Hukum Maju Terus'. Lewat angle semacam itu, kami ingin mengabarkan bahwa Novanto tetap menjalani proses hukum kendati telah mundur.

Kami mengedepankan why dan how dari suatu peristiwa. Media daring biasanya menekankan 3 W, yakni what, who, dan where. Tatkala Kopassus menyerang LP Cebongan pada 2013, kami menulis judul '20 Menit Mencekam di LP Cebongan' untuk menggambarkan betapa mencekam dan menegangkannya situasi. Lalu, ketika Lion Air mendarat di air dekat Bandara Ngurah Rai, Bali, pada 2013, kami menurunkan berita bahwa hempasan angin lah yang diduga menyebabkan pesawat gagal mendarat.

Kami juga memperbanyak deskripsi dalam pemberitaan. Deskripsi akan memancing imaginasi pembaca. Deskripsi membuat kami bisa mengimbangi televisi dengan kekuatan gambarnya. Deskripsi kami kedepankan dengan memperbanyak feature. Prinsipnya, don't tell it, but show it.

Tentu saja kita mengupayakan berita-berita eksklusif, mendalam, dan lengkap, antara lain melalui rubrik investigasi. Salah satu capaian fenomenal terjadi ketika kami menurunkan hasil investigasi tabloid Obor Rakyat. Kami berhasil menelusuri penyandang dana tabloid yang berisi kampanye hitam terhadap kandidat presiden, Jokowi, pada Pemilu Presiden 2014.

Kami beruntung memiliki saudara Mediaindonesia.com, Metrotv, dan Metrotvnews.com. Kami mengintegrasikan semua platform, baik cetak, TV, daring, maupun digital, baik dari sisi keredaksian maupun iklan. Bentuk integrasi yang paling dikenal publik ialah Editorial Media Indonesia yang tayang di Metro TV, juga di Mediaindonesia.com dan Metrotvnews.com. Yang tak kalah menarik ialah penayangan program Bedah Editorial MI di Metro TV, juga Mediaindonesia.com, dan Metrotvnews.com. Dengan cara itu, kami mengangkat editorial yang sebetulnya hak privat media ke ruang publik. Kami membuka ruang seluas-luasnya kepada publik untuk berkomentar, mendukung atau mengkritik sikap kami.

Regenerasi pembaca penting. Pembaca koran katanya orang-orang uzur. Untuk itulah kami punya rubrik MI Muda dan Media Anak. Kami melakukan pelatihan menulis dan memberi ruang kepada mereka untuk mengisi rubrik itu. Dengan begitu, bukan cuma meregenerasi pembaca, kami juga telah melibatkan publik dalam proses produksi berita.

Last but not the least, kami juga mengembangkan lini bisnis lain di luar media cetak. Kami punya event organizer dan penerbitan, baik cetak maupun digital, yang kami integrasikan dengan koran. Kami juga tengah mengembangkan sebuah lembaga riset profesional.

Di usia yang ke-46 hari ini, 19 Januari 2016, kami ingin kian meneguhkan spirit menantang senja kala. Tema HUT tahun ini ialah energi peradaban. Pelajaran fisika dasar merumuskan bahwa energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan, tetapi hanya dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Seperti energi, kami ingin hidup seribu tahun lagi demi mengawal peradaban bangsa. (X-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya