Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan kondisi rata-rata kualitas udara secara nasional relatif baik. Berdasarkan Indeks Kualitas Udara (IKU) 2018, skor nasionalnya mencapai 84,7. Meski begitu, kualitas udara di wilayah perkotaan masih kerap tercemar polusi.
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK Dasrul Chaniago menyatakan sumber pencemaran bergerak dari sektor transportasi menyumbang besar terhadap polusi khususnya di wilayah perkotaan. Sumbangsihnya bisa mencapai 70%-80%.
Baca juga: Moderasi Beragama Perlu Masuki Ruang Digital
Karena itu, ucapnya, peningkatan kualitas udara di wilayah perkotaan butuh upaya lebih besar dari berbagai pihak. Peran pemda dalam berinovasi dan keberanian mengambil kebijakan untuk meningkatkan kualitas udara amat dibutuhkan.
"Ini memang butuh keberanian dan inovasi daerah. Transportasi massal harus ditingkatkan, pedesterian perlu diperbanyak, dan juga hutan/taman kota perlu diperluas," kata Dasrul ditemui dalam Rapat Kerja Teknis Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, di Jakarta, Kamis (28/2).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Indeks Kualitas Udara di tiga provinsi yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah lebih rendah dari provinsi lainnya. Jakarta berada di posisi buncit dengan skor IKU 66,57.
Sepanjang satu tahun penuh pada 2018, tercatat hanya 34 hari Ibu kota mengalami kualitas udara dengan kategori baik. Selama 122 hari kualitas udara dalam kondisi sedang dan 196 hari udara berada dalam kategori tidak sehat.
Adapun rata-rata tahunan PM 2.5 di Jakarta sebesar 34,57 mikrogram/meter kubik. Angka itu melampaui standar baku mutu nasional yakni 15 mikrogram/meter kubik. Jika merujuk standar WHO yang sebesar 10 mikrogram/meter kubik, kondisinya melampaui lebih dari tiga kali lipat.
Baca juga: Jokowi akan Undang Komunitas Kesehatan Bahas JKN
"Kondisi itu ada andil juga dari daerah satelit Jakarta sehingga harus dilihat keseluruhan sebagai Jabodetabek," imbuh Dasrul.
Pencemaran udara membawa dampak buruk bagi kesehatan. Mengutip sebuah riset di Tiongkok (2012-2015), Dasrul mengatakan setiap kenaikan PM 2.5 sebanyak 10 mikrogram/meter kubik bisa meningkatkan risiko penyakit paru obstruktif kronis 2,5 kali lipat.
Terpisah, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK MR Karliansyah mengatakan sejumlah kebijakan daerah untuk meningkatkan kualitas udara memang sudah cukup membantu. Misalnya dengan hari bebas kendaraan yang digelar di berbagai daerah.
Di Jakarta contohnya, ada pula pembatasan kendaraan dengan sistem ganjil-genap. Namun, langkah itu perlu didukung lagi dengan dorongan agar masyarakat menggunakan transportasi massal.
"Pencemaran udara di daerah perkotaan perlu diwaspadai. Ini utamanya karena masalah polusi dari transportasi," ujarnya. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved