Dilengkapi dengan Gerakan Offline

Rio/Riz/M-3
11/6/2017 07:30
Dilengkapi dengan Gerakan Offline
(Anggota Osis SMA Kolese Kanisius tengah membahas dan merencanakan unggahan pesan pluralisme untuk gerakan ragam muda yang mereka buat bersama Osis sma Al-Azhar. -- MI/Ramdani)

GERAKAN anak muda menyebarkan konten positif diapresiasi Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPPIP) Yudi Latif dan pengamat media sosial Nukman Luthfie.

Meski begitu, kedua tokoh ini menilai gerak­an tersebut juga harus diimbangi dengan kegiatan di dunia nyata. “Gerakan itu tentu bagus karena bisa menyebarkan konten positif di dunia maya. Namun, tentu perlu juga ada gerakan offline yang sifatnya nyata di permukaan. Karena masyarakat tentu membutuhkan sebuah gerakan yang bisa diingat dan di capture oleh kamera,” kata Yudi kepada Media Indonesia, Sabtu (10/6).

Kegiatan offline pula yang direncanakan dibuat UKPPIP untuk menggandeng anak muda meresapi nilai Pancasila. Kegiatan itu berupa perkumpulan atau komunitas kreatif, film pendek, sayembara, hingga apreasi berbentuk penghargaan.

Yudi menambahkan, yang terpenting dalam merajut rasa kebangsaan ialah menjadikan Pancasila sebagai gaya hidup sebab hanya dengan cara ini pembinaan ideologi Pancasila dapat berjalan efektif.

Sementara itu, Nukman Luthfie mengungkapkan kelompok anak muda menjadi komponen penting penyebaran pesan positif di medsos karena mengambil porsi netizen terbesar. “Pengguna internet itu di dominasi oleh anak muda, 60% pengguna sosial media ialah di bawah umur 30 tahun. Mereka ini punya banyak gagasan, makanya ketika gagasan itu adalah gagasan positif, menggerakkan kehidupan sosial yang lebih baik maka harus didukung,” jelas Nukman.

Di sisi lain Nukman menjelaskan sebenarnya rentannya paparan informasi hoaks tidak dipengaruhi faktor umur ataupun tingkat pendidikan. “Semua kalangan berisiko untuk terpengaruh oleh informasi hoaks. Tidak perduli dia bodoh atau pintar, sekolahnya tinggi atau tidak, dia kiai atau bukan, semuanya itu rentan terhadap berita bohong. Kenapa? karena mereka sesungguhnya sulit membedakan mana yang berita benaran dan mana yang berita bohong, kenapa begitu? Risetnya sendiri belum ada, tetapi yang jelas faktanya mereka susah membedakan,” paparnya.

Nukman menduga paparan hoaks justru dipengaruhi tingkat literasi informasinya dan literasi media. “Makanya kuncinya ialah meningkatan literasi informasi, literasi media, dan literasi media sosial,” pungkasnya. (Rio/Riz/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya