Berpesantren dengan Sukacita

Abdillah M Marzuqi
04/6/2017 07:42
Berpesantren dengan Sukacita
(Sejumlah santri menyelesaikan karya mereka di Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka di Kel. Karamat Kec. Gunungpuyuh, Sukabumi, Jawa Barat. -- MI/Benny Bastiandy)

RUANGAN itu begitu hening. Tidak terdengar suara apa pun. Muhammad Nur Salim, 16, duduk bersila bersama tiga temannya sembari membawa buku berjilid besar. Ternyata itu ialah Alquran braille. Mereka meletakkan Alquran di paha kiri sedang kedua tangan meraba bacaan ayat demi ayat. Mereka melakukan itu menunggu waktu kajian sore bermula.

Nur Salim ialah salah seorang santri tunanetra di Yayasan Raudhatul Makfufin Serpong, Tangerang Selatan. Ia berasal dari kota di ujung selatan Jawa Timur, Tulungagung. Dia jauh dari keluarganya untuk menimba ilmu di pesantren. Ia menolak kalah meski menyandang disabilitas.

Beberapa lama kemudian bel elektrik berbunyi kencang. Seorang berpeci dan kemeja putih sengaja membunyikannya. Ia masuk ke ruangan lebih dulu. Ia sengaja duduk lebih dulu sembari menyiapkan bahan dan peralatan ajar. Sambil menunggu para murid masuk dan siap untuk mengikuti pengajian.

Lebih dari sekadar tanda masuk kelas, bunyi bel itu seolah menjadi tanda komando. Beberapa murid pun bergegas memasuki ruangan. Beberapa orang memang telah lebih dulu berada di dalam. Namun, beberapa yang lain tampak baru memasuki ruangan.

Bel itu lebih berarti bagi para santri. Sebab santri di situ ialah para penyandang disabilitas. Mereka sangat peka dengan bunyian sebab mata mereka tidak berfungsi layaknya orang normal. Namun, semangat itu tidak pula membuat mereka menjadi kendur menimba ilmu di pesantren. Sebaliknya, mereka tampak semangat mengikuti kajian kitab sore itu. Sembilan orang telah duduk menghadap barat. Segera dimulai pengajian setelah semua siap.

Kala itu mereka mengkaji kitab Washoya yang disampaikan oleh Muhyi Khoirudin. Para santri tunanetra menyimak materi yang dibawakan sang guru. Cara pembelajaran itu mengingatkan pada metode klasik di pesantren salaf yang disebut bandongan. Bedanya, para santri disabilitas tidak maknani atau membuat catatan pada kitab yang dibawanya. Mereka cukup mendengarkan guru menyampaikan materi.

Meski dalam kondisi tidak bisa melihat, para santri antusias mendengar kata demi kata dari sang guru. Tak jarang tawa mereka meledak ketika mendengar guru melontarkan guyonan, seperti ketika sang guru menyampaikan bahwa senyum di wajah ialah termasuk sedekah.

"Kalau tunanetra gimana?" lontarnya. Sontak saja para santri tertawa terbahak-bahak. Tidak ada raut minder dari wajah mereka yang menunjukkan mereka menyesali keadaan. Menurut Ketua Yayasan Raudhatul Makfufin Budi Santoso, para santri memang diajari mandiri sekaligus dibekali berbagai keterampilan.

"Hari biasa ada kursus komputer bicara, ada juga kursus terapi, serta kursus bahasa Inggris dan bahasa Arab," terang Budi.

Yayasan Raudhatul Makfufin berdiri November 1983. Kini ada 11 orang santri mukim yang belajar di sana. Selain itu, yayasan ini juga mencetak Alquran braille.

Semangat berkarya
"Wah, di sini uniknya di situ. Biasanya orang menganggap tunanetra melas gitu. Ya, iya sih di luaran sana. Kalau di sini tidak," tegas Sena sembari tertawa.

Sena Rusli, 24, ialah salah seorang santri di Yayasan Raudhatul Makfufin. Sena mengaku terus membangun cita-citanya menjadi jurnalis. "Saya senang menulis. Saya ingin belajar aktivitas teman-teman di sini terekspos."Berbeda dengan Sena. Afif Mahendra dan Muhammad Nur Salim justru ingin menjadi guru bagi orang normal.

Para santri mengaku betah di pesantren ini meski pada awalnya mereka masih malu-malu bergurau. Namun, seiring waktu mereka seolah menemukan dunianya.

"Pertamanya, ya malu-malu tegang gitu. Tadinya enggak tahu kalau tunanetra ada pesantrennya," ujar Afif.

Berada di lingkungan pesantren ini seolah terjun dalam dunia yang membalikkan pandangan selama ini. Di sini manusia normal boleh jadi khawatir menyinggung perasaan para tunanetra. Namun, ketika berhadapan dengan mereka, anggapan itu sirna. Berganti kagum dengan semangat mereka menjalani hidup. Tidak tampak rasa minder apalagi putus asa.

"Jangan memberi pekerjaan karena kasihan, tetapi karena mereka punya kemampuan," tandas Ketua Bidang Dakwah Yayasan Raudhatul Makfufin Muhyi Khoirudin. (X-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya