Syarat Usia Perkawinan Kembali Digugat ke MK

Putri Anisa Yuliani
24/5/2017 11:14
Syarat Usia Perkawinan Kembali Digugat ke MK
(Ilustasi---ANTARA)

SYARAT usia minimal perkawinan warga negara yang tercantum dalam Undang-undang no 1 tahun 1974 kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pendahuluan uji materi yang khusus menggugat pasal 7 ayat 1 itu digelar pagi ini pukul 09.00 di MK.

Sebelumnya pasal tersebut juga pernah digugat pada tahun 2014 oleh Koalisi +18. Putusan MK pada saat itu tertuang dalam putusan nomor 30-74/PUU-XII/2014 menyatakan menolak permohonan pemohon.

Kuasa hukum pemohon, Ajeng Gandini menyebut secara khusus ingin agar frasa 'pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)' diubah menjadi 'pihak wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)' atau sama dengan usia minimal perkawinan bagi laki-laki.

Menurut Ajeng, banyak kerugian yang diderita oleh pemohon akibat masih berlakunya norma tersebut yakni terjadinya diskriminasi terhadap perempuan karena hak-hak pihak perempuan yang menikah saat usia 16 terputus setelah menikah.

"Hilangnya hak pendidikan karena pasca menikah terputus jalur pendidikan pemohon, ketentuan usia yang berbeda menunjukkan adnaya ketidaksamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki di mata hukum," kata Ajeng dalam persidangan pendahuluan, di Jakarta, Rabu (24/5).

Hal ini menurut kuasa hukum bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kedudukan setiap warga negara sama di mata hukum.

Dalam kesempatan yang sama, hakim panel, Saldi Isra menyatakan pemohon harus bisa membedakan antara keberatan terhadap norma dan keberatan terhadap praktik implementasi norma.

Saldi menyebut, memang banyak kasus pemalsuan usia agar para orangtua bisa menikahkan anaknya yang masih di bawah umur yang telah diatur norma UU Perkawinan. Namun, hal itu bukan berarti kesalahan terdapat pada norma aturan yang berlaku melainkan pada implementasinya.

"Tidak ada persoalan norma jika yang disorot adalah hal itu dalam berkas pemohon. Apalagi ini pernah diuji pada tahun 2014. Saya tidak melihat ada kerugian konstitusional tetapi hanya bersifat kerugian materil. Kuasa hukum baiknya mengelaborasi kembali kerugian konstitusional untuk bisa meyakinkan mahkamah bahwa norma ini harus diubah maupun dihapus," kata Saldi. (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya