Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
PROGRAM Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah memasuki tahun keempat. Namun defisit dana JKN di BPJS Kesehatan masih akan terjadi karena selain tidak tercapainya target peserta, komposisi peserta didominasi oleh penduduk miskin dan tidak mampu (PBI). Di sisi lain, pembayaran iuran JKN dari Pemda sering mengalami keterlambatan.
Komposisi peserta JKN di per 1 Mei 2017 tercatat mencapai 176,7 juta jiwa yang terdiri dari peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN 92 juta jiwa, PBI daerah 17 juta, bukan pekerja 5 juta jiwa, pekerja bukan penerima upah (PBPU) mandiri 21 juta jiwa. Juga pekerja penerima upah (PPU) 40,2 juta jiwa yang terdiri atas PPU swasta 24 juta, PPU BUMD 0,1 juta, PPU PNS 13,4 juta, PPU TNI 1,6 juta, dan PPU POLRI 1,2 juta.
Jika dilihat dari komposisi peserta, penduduk miskin dan tidak mampu (PBI) mencapai 109 juta, atau 62% dari seluruh peserta. Sementara proporsi PPU, yang lebih rutin memasukan iuran, hanya 40,2 juta atau 23 persen.
Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Rofyanto Kurniawan mengatakan perlu ada keseimbangan partisipasi pemerintah dan masyarakat.
Target peserta JKN tahun 2016 seharusnya 68 persen dari total penduduk dan peserta PBI sebesar 42 juta jiwa atau 35 persen. Di tahun pertama, JKN mengalami defisit sebesar Rp 3,3 triliun dan membengkak menjadi Rp 5,7 triliun pada tahun 2015, lalu defisit meroket mencapai Rp 9,7 triliun pada tahun 2016.
Jika tidak ada peningkatan pendapatan iuran, defisit JKN diperkirakan akan mencapai Rp 10 triliun pada 2018. "Namun sampai akhir 2016, baru tercapai 65,6 persen atau 2 persen di bawah target. Di 2017 ditargetkan peserta sebesar 77 persen. Ini juga tantangan yang berat. Maka BPJS mau tidak mau harus kerja keras mencari peserta. Katakan, iuran naik. Tapi kami harap iuran masyarakat di PBPU Kelas I dan II dinaikkan juga. Tapi ini perlu diskusi dengan DPR, tidak mudah mendapat izin DPR untuk menaikkan premi dari masyarakat," ujarnya dalam diskusi publik inovasi pendanaan JKN di Jakarta, Selasa (23/5).
Rendahnya kepesertaan terutama yang informal dan masih dalam kondisi sehat, serta belum semua daerah integrasikan Jamkesda dan JKN, ditambah setengah dari keseluruhan peserta pun merupakan PBI yang dibayarkan pemerintah menjadi tantangan tersendiri. Padahal semakin banyak peserta informal dan sehat, maka keuangan BPJS bisa sehat. Sayangnya rasio puskesmas dan dokter masih minim.
Faskes dan tenaga kesehatan dimana menggunakan BPJS hanya ada di daerah yang mampu secara finansial. Di sisi lain, masalah pembayaran datang dari pemerintah daerah yang tidak disiplin dalam membayar iuran ke RSUD. Sumber pendanaan yang berasal dari pajak dan cukai rokok dan PPh rokok seharusnya bisa untuk iuran kesehatan, namun faktanya, kata Rofy, Pemda masih kesulitan merealisasikan dana pajak rokok untuk iuran JKN kesehatan dan justru mengendap sebagai silpa.
" Pendanaan, perlu dipertimbangkan cost sharing untuk masyarakat menengah ke atas. Kalau yang PBI mungkin tidak usah diotak-atik. Sedangkan yang tidak perlu disubsidi atau mampu semestinya ada cost sharing, sehingga bisa kurangi beban masyarakat yang membutuhkan.
Sedangkan untuk pembayaran, pemda memang mengalokasikan anggaran untuk iuran ke RSUD yang menjadi tanggung jawab mereka. Kenyataannya, pemda tidak disiplin, ada yang terlambat bayar dan ada yang kurang bayar. Sehingga ada subsidi silang dari pusat.
Selain itu harus ada monitoring sehingga Pemda bisa kontribusi pendanaan BPJS. Hal yg bisa dilakukan untuk kendalikan BPJS, antara lain penetapan standar. BPJS tidak bisa kontrol biaya kesehatan karena tidak ada penetapan standar, misal, tetapkan standar penanganan penyakit dengan cara pengobatannya," tukas Rofy. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved