Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
MENTERI Kesehatan Nila Djuwita F Moeloek mengatakan tingkat konsumsi rokok di Indonesia telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Lebih dari sepertiga penduduk (36,3%) merupakan perokok. Ia menegaskan persoalan tersebut tak boleh dibiarkan. Upaya serius dan kerja sama semua pihak untuk mengatasinya sangat diperlukan.
"Kita harus membuka mata terhadap apa yang sedang terjadi di Indonesia," kata Nila saat membuka the 4th Indonesian Conference on Tobacco Health (Ictoh IV) 2017 di Jakarta, kemarin (Senin, 15/5).
Prevalensi perokok laki-laki dewasa di Indonesia, lanjutnya, bahkan yang paling tinggi di dunia, yaitu 68,8%. Padahal, rokok merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit-penyakit tidak menular berbahaya, seperti kanker, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta penyakit paru.
"Mayoritas penyakit tidak menular diasosiasikan dengan gaya hidup tidak sehat, yaitu kurang olahraga, kurang konsumsi buah dan sayuran, serta merokok, dan minum minuman beralkohol."
Nila mengatakan di Indonesia kebiasaan merokok membunuh setidaknya 235 ribu jiwa setiap tahun dan memicu penyakit-penyakit berbiaya pengobatan tinggi (katastropik). Menurutnya, penyakit-penyakit katastropik itu menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional.
"Biaya untuk penyakit jantung dan pembuluh darah saja Rp6,59 triliun. Beberapa hari lalu saya bertemu Direktur BPJS Kesehatan, bahkan dikatakan mencapai Rp7,4 triliun," ujar Nila.
Iklan rokok masif
Pada jumpa pers jelang konferensi itu, Kasubdit Pengendalian Penyakit Kronis dan Degeneratif, Kemenkes, Theresia Sandra, juga menyoroti peningkatan jumlah perokok di perokok di kalangan muda.
Data Kemenkes mengungkapkan persentase perokok usia 10-14 tahun pada 2013 mencapai 17,3% dari total perokok, meningkat dari 1995, 9,0%. Sementara itu, pada kelompok usia 15-19 tahun, pada 2013 angkanya mencapai 56,9%, juga naik dari 1995 yang sebesar 54,6%. "Tantangannya besar sekali terutama terkait dengan masifnya iklan dan promosi dari industri rokok," ujarnya, Jumat (12/5).
Dikhawatirkan, kondisi tersebut akan merusak generasi muda sehingga bonus demografi pun menjadi sia-sia. "Indonesia akan mengalami puncak bonus demografi pada 2035. Dengan kondisi sekarang, kita terancam tidak akan mendapat keuntungan dari bonus demografi tersebut," ujar Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kemenkes, Dedi Kuswenda.
Dedi mengatakan Kemenkes akan terus berdialog dengan berbagai pihak untuk membahas iklan rokok. "Tahun ini kami juga akan mengajukan ke Kemenkum dan HAM supaya diubah aturan gambar efek merokok di bungkus agar bisa lebih besar. Bila saat ini 40% diharapkan 2019 sudah bisa jadi 75%," ujar Dedi.
Sementara itu, Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Sumarjati Arjoso, mengatakan keseriusan semua pihak dibutuhkan dalam menekan jumlah perokok, terutama pemda dan kepolisian di daerah, agar lebih ketat dalam menerbitkan izin iklan dan acara bersponsor rokok.(Ant/H-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved