Perempuan Menyerukan Islam Moderat

Nurul Hidayat
26/4/2017 07:06
Perempuan Menyerukan Islam Moderat
(Ulama wanita asal Arab Saudi Hatoon Al Fassi (kanan) memberikan materi dalam International Seminar on Women Ulama di Kampus IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, Jawa Barat, Selasa (25/4). -- ANTARA FOTO/Dedhez Anggara)

ULAMA perempuan bertanggung jawab menyampaikan Islam moderat, kese-taraan, serta kemanusiaan. Mereka para pendidik yang juga memiliki kemampuan untuk memberikan fatwa dan ijtihad di lingkungan muslimat.

Menurut Hatoon Al Fasi, perwakilan dari Arab Saudi, peran sebagai pendidik sekaligus pemberi fatwa itu dimiliki ulama perempuan atau alimat di negaranya.

“Sayangnya di dunia Arab, para alimat ini tidak banyak,” ungkap Hatoon dalam Seminar Internasional Ulama Perempuan di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Jawa Barat, kemarin.

Ia membawakan presentasi dengan judul Facing Resistance: Personal Insight and Strategies of Women Ulama.

Hatoon mengakui ketika berbicara tentang perempuan Arab Saudi, problemnya cukup kompleks. Hal itu karena mereka harus memikul beban tradisi negara Islam yang menjadikannya sangat kaku dalam semua tingkatan, baik politik, ekonomi, maupun sosial.

Ia pun mengetahui banyak pemimpin yang memonopoli pandangan yang akhirnya menyudutkan perempuan. Itu merupakan tantangan yang dihadapi perempuan muslim di banyak tempat.

Meski begitu, di wilayah lainnya seperti di Maroko dan Mesir, alimat mampu berkiprah lebih banyak karena dukungan negara.

Hatoon memaparkan, jika merujuk pada pusat studi pembangunan di Mesir, metode mereka ialah untuk menjembatani organisasi-organisasi perempuan untuk memfokuskan pemenuhan hak-hak perempuan oleh negara. Seperti di kampus Al-Azhar, yang berhasil membuahkan banyak karya.

Ulama perempuan asal Pakistan, Mossarat Qadeem, meng-ungkapkan peran perempuan di Pakistan saat ini sangat berat karena mereka tercabut dari akar. Mereka yang seharusnya bisa mengembangkan keluarganya, kini harus merawat para korban perang.

Para perempuan Pakistan sering kali juga mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dan menjadi korban bom bunuh diri.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, mereka menjadi bingung. Lantas kebanyakan dari mereka bertanya kepada maulana, tetapi tidak jarang maulana justru menginfiltrasi mereka dengan paham-paham radikal.

“Maka dari itu, ibu-ibu kami minta menjadi agen perubahan yang positif sehingga anak-anak tidak terlibat dalam radikalisme,” tegas Mossarat.

Kurang menjual
Ulama perempuan Malaysia Zainah Anwar memuji Indonesia yang sudah cukup baik dalam membangun kesetaraan gender. Hanya saja Indonesia kurang menjual hal tersebut ke publik. Zainah pun menekankan peran ulama perempuan dalam menginterpretasi ayat-ayat Alquran dan menyelaraskannya dengan semangat kesetaraan.

“Kami ingin membangun kepercayaan perempuan bahwa dalam Islam tidak ada diskrimi­nasi, justru menjunjung tinggi peran perempuan,” ujarnya.

Sekretaris Umum Komite Pelaksana Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Ninik Rahayu, menambahkan bahwa sejarah Islam mencatat kiprah ulama perempuan dalam setiap perkembangan peradaban Islam, termasuk di Indonesia.

Meski begitu, konstruksi sejarah yang sepihak membuat peranan ulama perempuan terlihat sangat kecil.
Seminar internasional ulama perempuan merupakan rangkaian KUPI pada 25-27 April 2017 di Cirebon. Sebanyak 780 ulama perempuan Indonesia dan sejumlah negara ikut serta. (P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Oka Saputra
Berita Lainnya