Pelestarian Cagar Budaya Terbentur Ketidaksiapan Aturan Pelaksana

Indriyani Astuti
12/4/2017 15:50
Pelestarian Cagar Budaya Terbentur Ketidaksiapan Aturan Pelaksana
(ANTARA)

UPAYA pelestarian situs budaya belum dapat berjalan maksimal karena walaupun tujuh tahun disahkan Undang-Undang Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya, hingga saat ini masih belum ada Peraturan Pemerintah (PP) untuk menjalankan UU tersebut.

Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Wiwin Djuwita S Ramelan mengatakan belum adanya PP menjadi tantangan tersendiri dalam mengatasi kerusakan kawasan situs cagar budaya. Sebab, pekerjaan dalam upaya pelestarian cagar budaya dapat terhambat karena tim pelaksana tidak mempunyai cantolan hukum yang lebih rinci, sementara UU hanya mengatur secara garis besar.

"Ini adalah bahan evaluasi bagi kita semua," ujar dia dalam acara diskusi ilmiah Arkeologi 2017 yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Arkeologi di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (12/4).

Selain belum siapnya aturan teknis pelaksanaan UU tentang Cagar Budaya, lanjut Wiwin, di lapangan masih terjadi masalah dalam pengelolaan dan pelestarian cagar budaya tersebut. Wiwin menuturkan dalam pelaksanaannya masih banyak aturan berbenturan.

"Kendati ada pengalihan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui desentralisasi kerap kali masih saling menyalahkan," katanya.

Berkaitan dengan itu, Arkeologi Senior sekaligus Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Mundardjito menuturkan, pelestarian cagar budaya masih terkendala anggaran misalnya pada UU tentang cagar budaya alokasi dana untuk perlindungan cagar budaya tidak diatur. Padahal ancaman kerusakan cagar budaya yang disebabkan karena bencana alam dan kerusakan dengan sengaja dapat terjadi.

Dalam upaya pelestarian cagar budaya, pemerintah sudah menetapkan Undang-undang Cagar Budaya pada 2010, menggantikan UU No 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan upaya pelestarian situs budaya.

Pasalnya dalam UU tersebut dinyatakan, yang dianggap sebagai cagar budaya hanya benda, belum melingkupi aspek kawasan dan lingkungan dari benda cagar budaya. Pada UU No 11/2010, aturannya diperbaharui, kawasan situs masuk dalam kawasan cagar budaya yang seharusnya dilindungi.

Diterbitkannya UU tersebut diharapkan dapat menjadi aturan yang komprehensif.

Mundardjito menambahkan dengan berkembangnya ilmu arkeologi serta keterbaruan teteori yang ada, paradigma mengenai warisan budaya menjadi berubah. Pengelolaan cagar budaya, bukan hanya oleh arkeologi saja, melainkan semua pemangku kepentingan termasuk masyarakat.

"Warisan budaya adalah sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian akademik maupun untuk meningkatkan keseimbangan masyarakat. Akan tetapi harus diingat bahwa sumber daya tersebut terbatas, khas tidak terbaharui dan konteksual karena itu diperlukan manajemen pengelolaan sumber daya tersebut," tutupnya. (OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya