Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
NUANSA retro atau tempo dulu melekat dengan band yang menamakan diri mereka White Shoes and The Couples Company (WSATCC). Sejak dirilisnya album perdana pada 2005 bersama Aksara Records dan didistribusikan Universal Music Indonesia, band asal Cikini, Jakarta, itu kian melesat dalam aksi panggung dan diskografi, apalagi setelah label rekaman asal Chicago, Amerika Serikat, bernama Minty Fresh Records meminang mereka dua tahun setelahnya untuk seluruh album. Sebagai catatan, beberapa band internasional, seperti The Cardigans dan Tahiti 80, juga bergabung bersama Minty Fresh Records. Selain itu, ada pula Boss Moon, Beatball Records, asal Korea Selatan, dan Avant Garden Records, Taiwan, yang merilis album perdana mereka, serta Desinee Records asal Jepang untuk album Vakansi.
Mereka ialah Saleh Husein (gitar), Aprilia Apsari (vokal), Rio Farabi (gitar), John Navid (drum), Aprimela Prawidyanti (piano), dan Ricky Surya Virgana (bass) yang juga pernah menjadi mahasiswa lintas disiplin seni rupa dan seni musik di Institut Kesenian Jakarta. Karena itu, tak mengherankan bila musik mereka begitu memiliki konsep yang matang dari segi musikalisasi dan penampilan di atas panggung.
"Secara akademik, kami tahu teori dasar saja. Menggabungkan dua disiplin akademis musik dan seni rupa. Karena seni itu tidak ada yang benar dan salah. Sebebasnya kita mengekspresikan berdasarkan teori dasar yang kami punya. Sekarang kami berkarya, bukan kuliah," kata Sari saat berbincang dengan Kotak Musik Media Indonesia, awal September lalu, di Motion Blue Jakarta.
Tak mengherankan bila teman sekaligus sang manajer mereka saat itu, Indra Amenk, juga berperan sebagai art director mereka. Para personel WSATCC percaya kepada Indra untuk mengerucutkan dan mengawinkan ide-ide liar yang ada. Sebagai seniman, Indra juga dianggap mampu mempresentasikan musik WSATCC di hadapan penonton.
Bebas tapi sopan, begitulah sebuah langgam yang diimani sampai akhirnya melekat pada pribadi tiap-tiap personel untuk mempertanggungjawabkan musik mereka di hadapan penonton. "Bebas bisa berimajinatif, tapi tetap sopan dalam penampilan membawakan musiknya. Soal kostum bukan pencitraan, melainkan memang akhirnya orang beranggapan walaupun kami pakai kaus biasa juga dibilang old school. Kami ingin keren, sesimpel itu saja karena referensi dan suka satu hal yang sama akhirnya sepakat," kata Saleh.
Bagi Ricky, apa yang mereka dapat dari proses akademis dimasukkan kembali ke ramuan musik WSATCC. "Seperti saya, John, dan Mela punya klasik ya dimasukkan, bahkan kami bikin versi yang 9 menit full chamber atau saat konser kami mainkan tema yang lain," sambungnya.
Kurang Produktif
Walaupun sudah berjalan lebih dari satu dekade, WSATCC terbilang kurang produktif terhadap karya berbentuk album studio. Sampai saat ini hanya ada album WSATCC (2005 & 2007), Skenario Masa Muda (EP, 2007), Vakansi (2010), dan WSATCC Menyanyikan Lagu-Lagu Daerah (2013).
"Kalau menurut kami, album itu identitas dan arsip kami dan orang yang mendengarkan atau mengoleksi. Kalau kami membuat album lebih memikirkan kualitasnya ketimbang kuantitasnya. Di saat waktunya tidak cocok karena ada jadwal dan kesibukan lain lebih baik kami tidak membuat album. Ada satu waktu yang harus dikhususkan dan difokuskan untuk membuat album," terang Ricky.
Selain album, ada proyek foto, pameran, film, atau tur ke luar negeri yang menjadi jadwal rutin mereka. Ditambah kegiatan para personelnya di bidang kesenian lain. Yang terpenting jangan melupakan sisi kemanusiaan tiap musisi. "Orang-orang tahu kami main musik, tapi jangan dilupakan kalau manusia melakukan apa pun. Band ini merupakan sekumpulan manusia yang bermain musik, tapi juga memiliki hasrat untuk melakukan hal lain untuk bersenang-senang," ungkapnya soal kegiatan lain.
Bagi Rio, kehidupan bermusik dan di luar musik saling melengkapi. Ketika mereka manggung, kejenuhan yang ada dalam pekerjaan lain itu hilang, dan sebaliknya. "Secara tidak langsung bisa menyumbang kontribusi ke band-nya. Dari kesibukan, setiap personel mampu memperkaya konten kepada band-nya, bisa jadi lagu, bisa jadi cerita baru karena band ini bentuk karya kolektif dari setiap personel," sambung Saleh.
Berbahasa Indonesia dan bertutur yang sopan menjadi kekuatan band ini. Lirik yang sebagian besar ditulis Sari rupanya sering diubah ketika mereka menghadapi situasi tertentu di atas panggung agar lebih nyaman bagi mereka dan penonton. Ada ketertarikan tersendiri untuk mengagumi karya musisi lama, seperti Ismail Marzuki, Saiful Bahri, Guruh Soekarno Putra, Candra Darusman, dan Fariz RM.
"Mereka punya karakter masing-masing walaupun semuanya berbahasa Indonesia. Mereka tidak melupakan bagaimana cara berkomunikasi dengan pemirsa soal rasa lagunya tanpa harus ada kata per kata yang sulit dicerna. Sejak pertama kali bisa menikmati novel Indonesia seperti Ali Topan Anak Jalanan dan film-film nasional di TVRI waktu masih kecil, cara mereka berdialog seperti apa. Tantangannya justru sekarang di tengah semuanya serbaekspresif, orang menulis punya persepsi masing-masing dan melupakan kenyamanan bernyanyi serta orang mencerna," ungkap Sari.
Kepedulian terhadap Indonesia tak hanya soal tata bahasa, tapi juga lagu daerah yang mereka interpretasikan kembali dengan langgam WSATCC tanpa menggunakan instrumen tradisional.
Lalu seberapa pedulinya mereka tentang Indonesia? Dan apakah album baru akan segera dibuat? Temukan jawabannya dalam wawancara eksklusif dan saksikan juga aksi panggung mereka di Kotak Musik. Unduh aplikasi Media Indonesia di Appstore dan Google Play Store sekarang juga. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved