Garin Nugroho Garap Film Bisu

Putri Rosmalia Octaviyani
23/8/2016 04:50
Garin Nugroho Garap Film Bisu
(MI/PANCA SYURKANI)

Merayakan 35 tahun kariernya di dunia film, sutradara Garin Nugroho membuat terobosan baru. Ia menggarap film bisu hitam putih yang diiringi alunan musik gamelan langsung. Film yang diberi judul Setan Jawa itu meng­angkat mitologi Jawa tentang pesugihan atau upaya menjadi kaya lewat bantuan dunia gaib.
“Tidak banyak film yang meng­angkat mistik tentang pesugihan. Film ini mengisahkan pesugihan kandang bubrah, sebuah tema yang langka,” ujar pria kelahiran Yogyakarta itu dalam konferensi pers di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Senin (22/8). Film tersebut bercerita tentang cinta dan tragedi kemanusiaan dengan latar waktu abad ke-20. Setio, seorang pemuda miskin dari desa, jatuh cinta dengan Asih, seorang putri bangsawan Jawa. Lamaran yang ditolak karena kemiskinannya membuat Setio mengikat perjanjian dengan iblis untuk mencari kekayaan. Pesugihan kandang bubrah yang dipilih jadi awal prahara hubungan mereka.

Garin mengemas film itu dalam perspektif yang berbeda, yaitu dengan menggabungkan unsur seni tradisional dan kontemporer. “Setan Jawa ini dikisahkan dalam bingkai sejarah periode awal abad ke-20 sebagai konsep waktu yang menarik untuk dieksplorasi. Memungkinkan ekspresi film ini bergerak antara seni tradisional dan kontem­porer dalam berbagai silang disiplin dan budaya,” paparnya.

Film ini terbilang spesial karena menjadi film bisu pertama yang diproduksi sineas Indonesia dan dijadwalkan tayang di berbagai festival seni di dunia. Sejauh ini, setidaknya sudah enam negara menyatakan niat menayangkan Setan Jawa, anta­ra lain Australia, Swiss, dan Filipina. Layaknya film bisu pada era 1920-1930-an, musik pengiring film diisi kelompok orkestra. Dalam penayangan perdana di Gedung Teater Jakarta, pada 3 dan 4 September mendatang, mu­sik pengiring Setan Jawa akan dibawakan kelompok gamelan asuhan maestro Rahayu Supanggah. Untuk pemutaran di negara lain, Garin mengajak musisi setempat untuk berkolaborasi, menginterpretasi film Setan Jawa, dan menerjemahkannya ke dalam musik.

Bosan film biasa
Terkait dengan ide pembuatan film bisu, Garin berkelakar ide itu berawal dari rasa bosannya terhadap film-film biasa. “Terus terang saja sekarang kalau untuk film biasa saya sering tidur. BCL (artis Bunga Citra Lestari) pernah marah pas syuting sama saya karena sayanya tidur. Kalau film seperti ini ada tantangan tersendiri,” urainya. Terlepas dari kebosanan itu, Garin meyakini film bisu memiliki kekuatan tersendiri. “Dalam kehidupan, 80% ekspresi kita diwakili bahasa tubuh, sisanya oleh kata-kata. Itulah sebabnya, film bisu disebut karya ekspresif paling besar karena dia mewakili kemanusiaan,” ujar alumnus Institut Kesenian Jakarta ini. Ia pun berharap di masa depan, dengan semakin beragam jenis film, para sineas terpacu untuk membuat terobosan-terobosan. “Saat ini eranya expanded film, yaitu bagaimana kita melakukan terobosan dengan menggabungkan berbagai unsur seni dalam sebuah film, seperti musik, visual, tradisi, tari, hingga fesyen dalam dua konsep waktu, yaitu masa lampau dan masa sekarang,” pungkasnya. (Alfi Rahmat Faisal/H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya