Sha Ine Febriyanti Kali Ketiga Jadi Juri Eagle Awards

Nurul Fadillah
28/7/2016 00:30
Sha Ine Febriyanti Kali Ketiga Jadi Juri Eagle Awards
(ANTARA FOTO/Teresia May)

KESEMPATAN ini bukanlah kali pertama bagi aktris teater, film, dan sutradara Sha Ine Febriyanti, 40, menjadi juri di ajang Eagle Awards Documentary Competition (EADC) 2016. Tiga tahun sudah Ine berpartisipasi sebagai juri di ajang EADC 2012, 2014, dan 2016. Meskipun terbilang singkat karena hanya terlibat pada satu tahapan penjurian, beranjak dari itu semua, Ine mengaku sangat tertarik untuk membuat karya film dokumenter sendiri. Proposal yang berisi gagasan dari para peserta EADC menjadi inspirasi bagi dia. "Sangat tertarik karena memang tantangannya berbeda. Film dokumenter itu organik banget. Jadi, bagaimana membuat film dokumenter yang tidak membosankan tetapi juga tidak direkayasa, ini kan PR (pekerjaan rumah) banget," ujar Ine saat diwawancarai Media Indonesia seusai menjadi juri di ajang Pitching Forum EADC 2016 di Grand Studio Metro TV, Selasa (26/7).

Bagi perempuan kelahiran Semarang itu, film dokumenter diartikan sebagai upaya menangkap kenyataan yang ada di masyarakat secara lagsung tanpa rekayasa. Sekalipun terdapat rekonstruksi suatu adegan, lanjut Ine, itu dibuat berdasarkan kenyataan, berbeda dengan fiksi. "Kalau film dokumenter di EADC ini berbeda pendekatannya dan saya juga pengin belajar sih. Saya pernah membuat film dokumenter sendiri, tetapi sekadar untuk dokumentasi pribadi untuk bahan riset saja. Jadi, sebetulnya itu untuk khazanah dan referensi saya saja dalam membuat karya film selanjutnya," jelas Ine.

Selama ini, Ine selalu dikenal dengan karya-karya film pendeknya, yang berjudul Cinderella (2001), Tuhan pada Jam 10 Malam (2010), dan Selamat Siang, Risa! (2012) yang berdurasi hanya 15-50 menit. Ine pun mengaku pernah memproduksi film dokumenter. Namun, film yang ia garap lebih mengarah kepada sebuah karya berita jurnalistik yang berjenis berita khas alias feature. Salah satunya ialah Rumah Katulistiwa (2007). Pemeran film Nay dan Hope tersebut pun mengaku lebih tertarik pada film dokumenter yang inspiratif termasuk isu-isu humanis. Isu itu selalu menjadi favorit Ine untuk direalisasikan menjadi sebuah karya visual. "Saya sebetulnya justru tertarik pada film dokumenter yang dipandang dari perspektif yang berbeda, yang enggak harus ada konflik. Belum pernah ada dokumenter yang tidak berkonflik karena yang diangkat selalu berkonflik," jelas ibu tiga anak itu.

Referensi bagus
Kemajuan zaman membuat para sineas muda Indonesia mampu berkarya dengan berbagai gagasan yang liar, bagus, dan mampu berprestasi. Ine pun mengaku takjub dengan karya-karya mereka yang memiliki semangat yang berbeda jika dibandingkan dengan masa-masa dirinya mengawali karier perfilman di era 2000. Namun, membuat film membutuhkan riset yang menyeluruh dan total.

Ine pun berpesan kepada para sineas muda ataupun pemula untuk mencari referensi yang bagus dan out of the box. "Cari referensi tidak selalu harus dari film, tetapi juga dari pameran lukisan dan buku bacaan yang bermutu. Karena semakin ke sini generasi itu semakin instan mendapatkan indormasi dan semakin gampang, tetapi kalau proses mereka tidak menempuh jalan instan tersebut pasti lebih baik hasilnya," pungkas istri Yudhi Datau itu. (H-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya