Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
RADEN Ajeng Kartini merupakan sosok emansipasi perempuan yang memperjuangkan kesetaraan dan kemandirian melalui pendidikan. Tidak mengherankan jika perjuangannya diangkat dalam film. Setidaknya ada dua film yang sudah mengangkat perjuangan perempuan asal Jepara itu, yakni RA Kartini (1984) karya Sjumandjaja dan Surat Cinta untuk Kartini (2016) yang diproduseri Lukman Sardi.
Seharusnya tahun ini film bertajuk Kartini besutan Hanung Bramantyo tayang, tapi ditunda hingga tahun depan. Apa saja yang sebenarnya terjadi? Kamis (14/7) Legacy Pictures yang menjadi rumah produksi menggelar jumpa pers bersama para artis papan atas seperti Dian Sastro (Kartini), Acha Septriasa (Roekmini), Ayushita Nugroho (Kardinah), Adinia Wirasti (Seolastri), Christine Hakim (Ngasirah), serta beberapa aktor dan aktris pendukung lainnya.
Hanung mengaku kendala utama pengunduran itu karena riset film biopik Kartini yang selalu hadir di tengah proses post production. “Riset film biopik seperti menggali harta karun, masih ada ujung berikutnya. Itu yang terjadi. Riset didalami, bertemu orang dan pakar baru. Bahkan pada saat syuting selalu muncul data baru. Pada saat film Soekarno juga seperti itu, tapi setelahnya selalu diburu-buru. Untuk yang satu ini saya tidak mau. Bahkan sampai editing pun bisa jadi akan syuting lagi setelah mendapatkan data baru,” jelasnya.
Hanung juga memberikan tes kamera kepada awak media untuk memperlihatkan mood dan alur kisah. Dalam tayangan itu, kali ini kisah Kartini dititikberatkan kepada pendidikan dan identitas perempuan yang ia perjuangkan bersamaan dengan drama dan intrik yang terjadi di keluarganya sendiri.
”Dari film Habibie dan Soekarno, penafsirannya itu subjektivitas. Tidak ada salah dan benar ketika membuat film biopik, yang ada hanya meyakinkan dan tidak meyakinkan. Ketika ada point of view dari seorang sutradara, harus dijawab point of view sutradara lainnya. Semakin banyak film Kartini, maka semakin bagus, banyak sudut pandang lain. Mari kita rayakan subjektivitas menjadi sebuah dialog. Terlepas autentik atau tidak, saya terbantu sekali dengan dua film Kartini sebelumnya,” sambungnya.
Hanung mengakui film ini dilihat dari sudut pandangnya. “Dari setiap permasalahan perempuan di Indonesia, saya menyimpulkan tubuh perempuan selalu dipersembahkan menjadi milik orang lain, baik dalam kebudayaan maupun agama. Saya teringat kembali sosok Kartini, ‘panggil aku Kartini saja’ (salah satu dialog dalam film tersebut), raden ajeng hanya identitas. Mungkin raden ajeng sekarang diganti dengan perempuan muslimah, pengusaha yang mandiri, dan label lainnya. Film ini mencoba menyelamatkan perempuan dari penilaian dan identitas tertentu,” terang Hanung.
Guna memperkuat riset, beragam literatur dibaca sutradara dan para pemain. Seperti buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer, surat-surat asli Kartini yang banyak diterjemahkan, hingga menjalin hubungan dengan keturunan langsung RA Kartini bernama Susalit.
Dian Sastro mengaku cukup banyak literatur yang ia kaji, termasuk buku buku kecil tentang pikiran Kartini dari yayasan warna-warni. “Saya sekarang masih membaca Habis Terang Terbitlah Terang karya Armijn Pan. Kami gerilya mendapatkan sumber pustaka,” kata Dian.
Sayangnya, film ini tidak diproduksi di Jepara tetapi di Jakarta dan Yogyakarta. Dana sebesar Rp6 miliar paling sedikit dibutuhkan untuk membuat pendopo sama persis. “Kalau dalam Hindu ada istilah dese (lokasi), kale (waktu), dan patre (orang/peristiwa). Hanya lokasi yang tidak autentik dalam film ini. Sekarang pendoponya sudah dimodernisasi, akhirnya kami syuting di Yogyakarta dan Jakarta karena akses produksi lebih mudah,” pungkas Hanung. (Fik/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved