Apresiasi Musik Indonesia Kini

Dzulfikri Putra Malawi
06/3/2016 12:35
Apresiasi Musik Indonesia Kini
(MI/Adam Dwi)

MUSIK Indonesia mengalami euforia kebebasan berkarya dan mendengarkan. Tak butuh satu dekade meruntuhkan penyeragaman selera musik yang telah berpuluh-puluh tahun mengakar. Perlahan tapi pasti, kepopuleran media sosial mengalahkan musik populer yang dijejali para label raksasa.

Kini, masyarakat mudah mendengarkan irama yang mereka suka dan berani mengatakan tidak suka karena banyaknya ragam alunan nada yang sudah bisa dinikmati. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya pilihan dan saluran musik yang tersedia di era digital.

Beberapa tahun terakhir, era teknologi digital membawa warna tersendiri, mulai dari cara dan proses para musikus berkarya serta memublikasikannya. Dalam hitungan menit, sebuah karya bisa langsung diakses seluruh dunia serta memunculkan digital native. Tanpa ada filter, semua konten terkait dengan musik bisa diakses.

Positifnya, selera itu bermuara pada keberanian mengapresiasi musisi Indonesia. Mulai menjadi subscriber saluran media sosial hingga membeli lagu digital dan mengoleksi bentuk fi siknya dalam kepingan CD, kaset, dan piringan hitam. Lebih fanatik lagi hingga mengoleksi beragam rupa merchandise dan rela mengeluarkan kocek besar untuk menyaksikan konsernya.

Efek Rumah Kaca membuktikan pasar bisa diciptakan. Mereka sukses menggelar konser di awal tahun dengan harga yang relatif mahal dan menjual ludes albumnya sebanyak 5.000 keping CD. Walaupun beberapa waktu sebelumnya, seluruh isi album Sinestesia digratiskan dalam sebuah situs. ''Bahkan kini jumlahnya sedang digandakan untuk memenuhi tingginya minat penggemar,'' kata pemilik Demajors, David Karto, yang mendistribusikan album ini.

Kondisi
David bersama Aldo Sianturi (Indonesia Country Manager Believe Digital) dan Wendi Putranto (Editor Rolling Stone Indonesia) berada dalam satu forum diskusi yang diselenggarakan Kotak Musik Media Indonesia, Rabu (2/3) di Coffeewar Kemang Timur, Jakarta, membahas secara mendalam kondisi musik Indonesia kini.

''Memang belum ada kebijakan secara valid mengenai industri musik Indonesia. Namun, ada satu hal yang harus kita perhatikan, yakni kualitas. Lalu, diperlukan jam terbang untuk mempelajari market. Meskipun kita punya warga negara yang tinggal di luar negeri, namun masyarakat di Indonesia yang penting untuk disasar. Jadi, kita bisa tahu tujuan pasar kita,'' ujar Aldo.

Dengan melihat teknologi yang berkembang, timpal David, tidak perlu ada yang dilawan dan diperdebatkan. Baginya karya musik yang berbentuk fisik masih menjadi penyeimbang industri di era peralihan digital ini.

''Musik Indonesia dulunya tidak melayani fan base, tidak membentuk masyarakat menjadi loyal pada karya mereka. Tapi musisi sekarang mampu membuat masyarakat lebih apresiatif,'' sambung Wendi.

Lantas sudah tepatkah kini para pendengar dengan bebas memilih musik yang disukai? Apakah era digital menjadi angin segar bagi para musikus dan pelaku bisnis musik Indonesia untuk bisa lebih luas lagi berkreasi?

Sementara itu, bagi pendengar, apakah era digital saat ini patut untuk dirayakan sebagai bentuk kebebasan mendengarkan apa yang Anda inginkan, bukan apa yang selalu disuguhkan? Atau justru perilaku penikmat musik bisa diedukasi menjadi lebih baik lagi?

Temukan jawabannya dalam diskusi Kotak Musik bertajuk Saatnya Kebebasan Berkarya dan Mendengar, dalam aplikasi Media Indonesia yang dapat diunduh gratis di Ios dan Android pada 9 Maret 2016. Selamat Hari Musik Nasional. (M-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya