Membuang Sampah ke Kawat Listrik

Raja Suhud
05/4/2017 09:00
Membuang Sampah ke Kawat Listrik
(MI/Seno)

PERMASALAHAN penyediaan tenaga listrik masih menjadi problem yang terus coba diatasi pemerintah saat ini. Kurangnya ketersediaan listrik menjadi faktor negatif yang menyebabkan calon investor berpikir panjang untuk menginvestasikan dana demi membangun pabrik di Indonesia.

Belum lagi, kekurangan pasokan listrik menyebabkan layanan yang harusnya disediakan negara menjadi berkurang. Di banyak daerah, rakyat masih harus bergulat dengan ketersediaan listrik yang belum 24 jam.

Karena itu, pemerintah meluncurkan program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt atau 35 Mw, program yang diyakini menurunkan kepincangan antara pasokan dan kebutuhan listrik.

Namun, bila ditelaah lebih lanjut, megaproyek yang menelan dana hingga ratusan triliun rupiah ini akan lebih bersandar pada elite. Wajar saja, orang yang memiliki dana dan kemampuan untuk membangun pembangkit listrik berskala besar tidak banyak. Pilihan ini bukan tidak berrisiko. Besarnya nilai proyek dan kepemilikannya yang sentral membuat nasib penyediaan tenaga listrik berada di tangan mereka. Dengan demikian, bila terjadi keterlambatan, penyediaan listrik ikutan terhambat.

Saat ini ada celah yang bisa digunakan pemerintah untuk memecah ketergantungan penyediaan listrik dari elite, yaitu memecah penyediaan kepada rakyat.

Sekolah Tinggi Teknologi (STT) PLN menyodorkan konsep Listrik Kerakyatan. Dengan teknologi sederhana dan murah, masyarakat bisa menjadi produsen listrik. Tenaga air, sinar matahari, dan bahkan sampah bisa menjadi sumber penghasil listrik. “Ketimbang membangun satu pembangkit 1.000 Mw akan sama hasilnya membangun 1.000 pembangkit dengan daya 1 Mw tapi dimiliki masyarakat,” ungkap Ketua STT PLN Supriadi Legino di Jakarta, Senin (3/4).

Karena menggunakan sumber daya yang ada di masyarakat, dana yang dibutuhkan tidak besar. Untuk satu pembangkit sederhana berbasis sampah, dibutuhkan dana tidak sampai Rp1 miliar. Proses pembangunannya cukup singkat, hanya sembilan bulan. “Listrik kerakyatan juga menjadi solusi terhadap masalah pengelolaan sampah yang dihadapi setiap pemerintah daerah,” ujarnya.

Sampah yang ada, baik organik dan nonorganik, akan diolah untuk menghasilkan gas ataupun briket yang menjadi bahan bakar untuk menggerakkan generator penghasil listrik. Semakin besar sampah yang diterima, semakin besar listrik yang dihasilkan. Bila perusahaan rokok punya slogan how low can you go, listrik kerakyatan memiliki slogan how much can you throw. (E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya