Gubernur Sulsel Kritik Status WTP yang Masih Ada Korupsi

Lina Herlina
15/3/2017 14:06
Gubernur Sulsel Kritik Status WTP yang Masih Ada Korupsi
(MI/Arya Manggala)

DAERAH yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan seharusnya dijamin tidak ada korupsi.

Penegasan sekaligus kritik terhadap politik anggaran tersebut dikemukakan oleh Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo saat menyampaikan sambutan pada Forum diskusi Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah untuk Tim Penyelesaian Kerugiaan Daerah (TPKD) pada Entitas Pemeriksaan Wilayah Sulawesi, Rabu (15/3).

Pada kesempatan itu, Syahrul mengatakan, jika kerugian negara itu timbul lantaran memang ada niat untuk korupsi. "Dan orang yang punya prilaku koruptor itu bagusnya ditembak mati saja," tegasnya di acara yang dihadiri perwakilan BPK se Sulawesi dan Ketua Majelis Tuntutan BPK RI yang juga Wakil Ketua BPK RI Sapto Amal Damandari.

Bahkan untuk persoalan administrasi, lanjut Syahrul, selama bisa ada perbaikan atau pengembalian (uang negara) harusnya sudah tidak ada lagi masalah.

Sayangnya, penegasan Syahrul tersebut dibantah Sapto Amal Damandari. Menurut dia, status WTP itu bukan berarti tidak korupsi. Status tersebut diberikan, karena pemerintah dan entitas yang bersangkutan telah menyajikan laporan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).

Misalnya, jelasnya, sistem pengendalian internal (SPI) telah memadai dan tidak ada salah saji yang material atas pos-pos laporan keuangan. Dan secara keseluruhan laporan keuangan telah menyajikan secara wajar sesuai dengan SAP.

"Clear and clear WTP tidak ada korupsi harapannya begitu, tapi kenyatannya walau pun WTP tetap ada kerugian negara," urai Sapto.

Untuk Sulawesi sendiri, banyak terjadi kasus kerugian negara yang diakibat dan melibatkan bendahara, PNS yang bukan bendahara dan pihak ketiga di tingkat pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. "Nilainya sekitar Rp508, 61 miliar," ujarnya.

Oleh bendahara sebanyak 106 kasus dengan nilai kerugian Rp107,8 miliar. Tapi sudah dilakukan pengembalian dengan cara diansur dan ada yang langsung lunas 509 kasus atau senilai Rp30,6 miliar atau sekitar 28,2 persen.

Kerugian negara yang diakibatkan oleh PNS bukan bendahara sebanyak 8.807 kasus senilai Rp282,81 miliar. Dan yang sudah melakukan pengembalian dengan cara angsuran atau lunas sebanyak 5.888 kasus, seniliai Rp87,3 miliar yang masih 30,8 persen.

Terkait yang dilakukan pihak ketiga sebanyak 1.413 kasus senilai Rp118 miliar. Yang sudah melakukan pengembalian baru 772 kasus senilai Rp36,2 miliar atau 31, 2 persen.

"Karena masih banyaknya kerugian negara yang belum dikembalikan, maka harus segera dikembalikan. Syukur bisa dilunasi, tapi paling tidak berkurang. Tapi ini semua akan diselesaikan oleh Majelis Tuntutan Pembendaharaan BPK RI. Hanya saja kalau bisa diselesaikan di sini yah di wilayahnya saja," lanjut Sapto.

Bagi mereka yang tidak bisa mengembalikan kerugian negara, tapi itu akan dituntut hingga ahli warisnya. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya