Peritel Konvensional Bersiasat

Anastasia Arvirianty
10/3/2017 07:31
Peritel Konvensional Bersiasat
(Dok. MI/Angga Yuniar)

GAYA belanja sebagian masyarakat yang mulai beralih ke toko daring dianggap menjadi salah satu faktor melesetnya target realisasi penjualan ritel 2016.

Meski begitu, pelaku usaha ritel terus mencari siasat untuk mengatasi tantangan tersebut.

Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan saat ini para pengusaha ritel sudah menyiapkan langkah antisipasi, seperti konsolidasi atau konvergensi, dengan tidak hanya menyediakan toko fisik (offline), tapi juga toko daring (online).

Hasil penjualan pun akan dikonsolidasikan. Dengan begitu, industri ritel tetap bertumbuh.

"Misalnya Mataharimall.com, MAP E-mall, dan sebagainya," tutur Roy saat dihubungi Media Indonesia, kemarin.

Ia mengungkapkan strategi lain jika pengusaha ritel tetap ingin mencari tenant atau menjadi tenant untuk sebuah pusat perbelanjaan.

Peritel, menurut Roy, perlu punya spesialisasi dan kreativitas yang diberikan dalam produk dan jasa yang ditawarkan.

"Zaman sekarang semua serbacepat berubah sehingga produk-produk yang standar dan biasa saja sebaiknya segera dikembangkan," kata Roy.

Hal itu diamini pengelola Mal Ciputra Jakarta, salah satu mal yang mampu bertahan selama lebih dari dua dekade di Ibu Kota.

Kemarin, pihak mal melakukan tanda tangan nota kesepahaman kontrak kerja sama untuk sembilan tenant baru yang seluruhnya ditargetkan beroperasi sebelum memasuki Ramadan.

General Manager Mal Ciputra Ferry Irianto mengatakan sembilan tenant anyar itu dinilai masuk kategori lifestyle retail, seperti tempat bermain anak-anak dan tenant makanan dan minuman.

Hal itu merupakan upaya perusahaan untuk terus meningkatkan penjualan ritel dan memperluas pasar ritel.

"Banyak pusat perbelanjaan di Singapura dan Amerika Serikat yang mengalami kemunduran jika tidak berorientasi lifestyle, sebab traditional fashion shopping akan mulai tergerus e-commerce. Pusat perbelanjaan pun harus siap-siap beralih ke lifestyle untuk bertahan," ujar Ferry saat dijumpai dalam acara penandatanganan kerja sama dengan sembilan tenant tersebut.

Namun, peralihan pola konsumsi masyarakat menuju belanja daring bukanlah satu-satunya penyebab tidak tercapainya target penjualan Aprindo di 2016.

Penyebab lainnya ialah paket deregulasi yang belum terimplementasi, situasi ekonomi yang belum sepenuhnya kondusif, dan industri ritel yang masih dianggap sebagai industri padat modal.

Padahal, seharusnya padat karya berpengaruh ke upah minimum pegawai (UMP).

"Selain itu, beberapa produsen masih melakukan impor bahan baku sehingga harga jual barang hasil produksi kurang kompetitif di pasar," tutur Roy

Pada 2016, ujarnya, penjualan ritel Indonesia memang mengalami kenaikan pertumbuhan ketimbang 2015.

Namun, kenaikannya tipis, dari 8% pada 2015 menjadi 8,5%-9% di 2016.

Sementara itu, pertumbuhan penjualan yang ditargetkan pada 2016 ialah 10%-11%. Tahun ini, Aprindo mempertahankan target itu.

Roy mengaku optimistis industri ritel dapat mencapai sasaran itu lantaran laju inflasi masih terkendali, sesuai dengan target pemerintah.

Di samping itu, indeks kepercayaan konsumen terhadap konsumsi produk di Indonesia pun pada Februari 2017 tercatat meningkat dari bulan sebelumnya, yakni menjadi 117,1 dari sebelumnya 115,3 pada Januari 2017.

"Itu membuktikan daya beli masyarakat tidak hilang. Selain itu, situasi ekonomi saat ini sudah mulai menunjukkan pemulihan," tandasnya.

(E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya