Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
TAHUN lalu, Bank Indonesia (BI) telah mewajibkan perusahaan nonbank, terutama yang mengambil utang sejak per 1 Januari 2016, untuk memeringkatkan utang dari lembaga rating yang kredibel. Namun, ternyata baru 24,5% dari 538 korporasi nonbank yang tercatat menerbitkan utang sejak ketentuan berlaku yang sudah patuh.
"Implementasi kredit rating masih ada room yang perlu diperkuat lagi dari sisi pelaporan. Ada swasta yang pinjam ULN (utang luar negeri) belum comply (patuh) untuk meminta credit rating. Padahal, ini mandatori supaya tidak overleverage," jelas Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Dody Budi Waluyo dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin (Selasa, 7/3).
Menurut Dody, kewajiban yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 16/20/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank itu sebenarnya sudah cukup fleksibel.
Selain tenggat pelaksanaan, otoritas moneter membebaskan lembaga rating yang dipakai bisa dari dalam dan luar negeri. "Peringkat minimalnya juga moderat, untuk lembaga pemeringkat luar negeri minimal BB-, sementara kalau dari Pefindo, minimal idBB-," jelas Dody.
Ia menjelaskan pemeringkatan utang juga akan menguntungkan posisi tawar korporasi itu di mata kreditur luar negeri. Dengan begitu, utang yang didapat lebih sehat dan produktif. Dody mengelaborasi peringkat utang maksimal berlaku selama dua tahun sejak diterbitkan, juga bisa menggunakan peringkat utang dari induk korporasi untuk membuatnya lebih efisien.
"Dari sisi ekspektasi di luar, sekali dia diperingkat dengan baik, tentunya secara <>value korporasi itu di mata debitur akan baik, seandainya dia mau ekspansi loan lagi.
"Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan, masih rendahnya kepatuhan terhadap pemeringkatan antara lain disebabkan sebagian korporasi melihat hal tersebut belum urgen. "Kalau perusahaan yang mau cari dana ke pasar modal, menerbitkan obligasi atau IPO (<>initial public offering), pemeringkatan tentu penting karena hal itu akan dilihat investor, tapi beda halnya dengan perusahaan yang di luar pasar modal. Mereka mungkin melihat itu belum urgen," tuturnya.
Untuk mendorong kepatuhan, otoritas moneter, menurut David, bisa saja menyiapkan sanksi administratif. Umpama, mengirimkan surat ke bank bahwa perusahaan bersangkutan tidak melakukan pemeringkatan.
Namun, yang menurutnya terpenting ialah mendorong perusahaan skala menengah dan besar untuk terjun ke pasar modal. "Berikan insentif kepada mereka. Dengan begitu mereka pun akan dengan sendirinya melihat pemeringkatan sebagai hal penting," ucap David.
Lindung nilai
BI mencatat kenaikan signifikan pada kepatuhan korporasi nasional untuk lindung nilai (hedging) dalam dua tahun ini. Dari sekitar 2.700 korporasi yang memiliki utang valas, 93,6% sudah melakukan hedging. Lebih lanjut, mayoritas dari mereka, yakni 91,5%, melakukannya dengan bank domestik. "Nilai hedging untuk ULN yang jatuh tempo 0-3 bulan di bank dalam negeri US$3,8 miliar. Ini data terakhir triwulan III-2016," terang Dody.
Hedging di bank luar negeri hanya US$300 juta dan yang hedging di bank domestik dan asing sekaligus US$100 juta. Sementara itu, nilai hedging untuk ULN yang jatuh tempo pada 3-6 bulan di bank domestik ialah US$1,3 miliar. Hanya US$200 juta yang di-hedging di bank asing dan US$100 juta hedging di bank domestik dan bank asing.
Peningkatan kepatuhan juga tampak pada kepatuhan rasio likuiditas, dengan aset dalam valas harus bisa memenuhi 70% dari total kewajiban dalam valas. Hingga kuartal III-2016, 92,1% dari total 2.700 korporasi wajib lapor sudah patuh. (Ant/E-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved