Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) dan berbagai pihak, seharusnya tidak perlu mempersoalkan keberadaan PP Nomor PP Nomor 72 Tahun 2016, yang mendasari pembentukan Holding BUMN. Selain pemerintah masih memiliki fungsi pengawasan, hal tersebut merupakan terobosan pemerintah era Jokowi. Demikian disampaikan pengamat hukum energi Universitas Indonesia, Wasis Susetio.
"Hal ini justru progresif dan positif, karena berani menyatakan bahwa asetnya memang terpisah. Kalau dulu, BUMN selalu ketakutan bahwa asetnya adalah domain publik, meski suatu BUMN sudah berbadan hukum PT," ungkap Wasis dalam keterangan tertulis yang diterima Media Indonesia, Jumat (10/2).
Menurut Wasis, pemahaman negara atas kekayaaan BUMN, mestinya memang terpisah. Terlebih pada BUMN yang badan hukumnya sudah berupa Perseroan Terbatas, pemilik utama adalah pemerintah. Dalam hal ini, si pemilik aset berhak menggunakan asetnya, termasuk untuk membentuk holding tanpa melalui mekanisme APBN. “Kecuali, jika dalam pembentukan memerlukan anggaran baru. Tetapi, ini kan asetnya sudah ada, jadi memang tidak perlu lewat APBN,” kata Wasis.
Dalam kaitan itulah Wasis menegaskan, bahwa PP Nomor 72 Tahun 2016 memang tidak melanggar perundang-undangan yang sudah ada. Dalam UU tentang BUMN, misalnya, jelas disebutkan bahwa BUMN yang berupa perseroan harus tunduk kepada UU tentang Perseroan Terbatas. Artinya bahwa BUMN tersebut diperlakukan sama seperti PT-PT lain. Dan UU tentang PT pun tegas menyatakan mengenai aset terpisah tadi.
“Dalam hal ini, maka pertanggungjawaban publik dilakukan, ketika misalnya terdapat aliran dana APBN. Nah, pengalihan aset atau saham holding sesuai PP 72 kan tidak memerlukan APBN baru, jadi memang menjadi wilayah pemilik, yaitu pemerintah,” tegas Wasis.
Lebih lanjut Wasis menjelaskan, sebagai entitas bisnis, PT memiliki business judgement rule. Aturan tersebut memperjelas independensi atau otoritas mandiri dari PT bersangkutan, termasuk mengenai kekayaan yang terpisah tersebut. Artinya, ketika PT tersebut merupakan BUMN, bahkan Menteri Keuangan pun sebagai komisaris tidak bisa terlalu mengintervensi kebijakan direksi. Jadi, harus benar-benar mengikuti kaidah bisnis.
Sayangnya, lanjut Wasis, kemandirian BUMN berbentuk PT inilah, yang selama ini belum banyak diterapkan. Akibatnya, banyak sekali direksi BUMN atau BUMD yang ketakutan, ketika mereka mengelola sedikit saja kucuran dana dari APBN atau APBD. Dan hal itu, tentu saja menjadi kontra produktif dan menghambat kinerja BUMN atau BUMD bersangkutan. “Itulah sebabnya mengapa saya katakan bahwa PP 72 memang baik dan progresif,” kata Wasis.
Sementara terkait fungsi pengawasan, Wasis mengatakan, DPR juga tidak perlu khawatir bahwa pengalihan aset atau saham tersebut tanpa pengawasan. Sebab, selain BPK masih bisa melakukan audit, DPR pun masih bisa memanggil dan memeriksa pemerintah maupun BUMN bersangkutan. Apalagi, lanjutnya, holding hanya merupakan wadah, sedangkan masing-masing BUMN masih tetap ada. (Faw)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved