Periode III Amnesti Pajak, Ekstensifikasi Mesti Jadi Prioritas

Fetry Wuryasti
02/1/2017 09:05
Periode III Amnesti Pajak, Ekstensifikasi Mesti Jadi Prioritas
(ANTARA/Yudhi Mahatma)

PERIODE kedua amnesti pajak yang juga sekaligus tahun anggaran 2016 berakhir pada 31 Desember 2016 lalu. Namun, penerimaan perpajakan pemerintah belum sesuai dengan target APNB Perubahan 2016.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan menyatakan penerimaan pajak menjelang akhir tahun sudah mendekati 82% dari target APBN-P 2016.

"Sampai sekarang nyaris 82%. Ini masih berjalan. Nanti saya kasih evaluasinya," kata Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Yon Arsal di Jakarta, Sabtu (31/12/2016).

Yon menegaskan realisasi itu masih bersifat sementara karena penghitungan akhir penerimaan pajak di 2016 akan dilakukan setelah tahun anggaran tersebut selesai.

Hingga Sabtu (31/12/2016), perolehan pendapatan mencapai Rp107 triliun yang terdiri atas dana tebusan Rp103 triliun dan pembayaran tunggakan serta bukper Rp4 triliun. Jika dipisah, perolehan dana tebusan periode kedua hanya Rp9,5 triliun, sangat jauh dari periode pertama, Rp93,7 triliun.

Pengamat pajak, Darussalam, menilai untuk menghadapi periode III amnesti pajak, pemerintah harus melakukan imbauan secara masif lewat surat kepada wajib pajak yang tidak patuh berdasarkan data Ditjen Pajak.

"Kalau mereka masih saja bandel tidak ikut, pascaamnesti pajak bakal dilakukan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan yang ada," katanya saat dihubungi, kemarin (Minggu, 1/1).

Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan pemerintah harus melakukan sosialisasi lebih masif dengan melibatkan asosiasi pengusaha atau kelompok gugus usaha.

"Termasuk sosialisasi terhadap pejabat ASN, petinggi TNI, dan Polri. Pejabat direksi BUMN dan Komisaris BUMN. Diselesaikan dispute aturan dengan KPK atas laporan LHKPN dengan SPT Pajak pascaamnesti pajak."

Monoton
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan sedari dahulu penerimaan negara masih monoton. Hal itu diperparah dengan perlambatan ekonomi global, yang berakibat penerimaan negara dari produksi dan konsumsi terkena imbas.

"Seharusnya pemerintah sejak dahulu melakukan pendalaman atau intensifikasi maupun ekstensifikasi penerimaan," ujarnya saat dihubungi, kemarin.

Sebagai contoh, kata dia, sumber penerimaan cukai cukup besar. Namun, selama ini yang menjadi objek cukai hanya industri tembakau, alkohol/etanol, dan minuman beralkohol. Padahal di negara lain, objek cukai antara lain barang-barang yang berdampak mengganggu kesehatan manusia dan lingkungan, seperti pendingin ruangan (AC), kulkas, dan kendaraan bermotor.

Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan Benny Soetrisno, untuk menggenjot penerimaan, hingga kini jumlah NPWP baru yang masuk pada program amnesti pajak belum besar sehingga potensi pajak memang masih tersedia.

"Ekstensifikasi itu bukan dengan nakut -nakutin, melainkan harusnya dirangkul agar mereka membayar pajak. Dari program amnesti pajak itu penambahan NPWP itu masih kecil. Dengan cakupan yang makin luas maka tentu pph (pajak penghasilan) akan bisa diturunkan," jelas Benny saat dihubungi Media Indonesia, kemarin.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengungkapkan cara meningkatkan penerimaan negara ialah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Salah satu cara, meningkatkan nilai tambah seluruh produk dan jasa. "Pemerintah harus mendorong sebesar-besarnya produksi dalam negeri untuk menurunkan impor," katanya saat dihubungi, kemarin.(Dro/Ant/E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya