Efisiensi supaya EBT Bisa Berkompetisi

Adhi M Daryono
22/12/2016 06:11
Efisiensi supaya EBT Bisa Berkompetisi
(ANTARA/Widodo S. Jusuf)

NIAT pemerintah untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) timbul tenggelam lantaran terus berbenturan dengan ketergantungan terhadap energi fosil, terutama minyak bumi.

Akibatnya, produksi EBT terus terkungkung dalam skala kecil hingga menengah sehingga tidak efisien untuk bisa berkompetisi dengan energi fosil yang telanjur menjadi kebutuhan primer masyarakat saat ini.

"Semua EBT yang dikembangkan di Indonesia harus kompetitif dengan sumber energi yang tradisional (minyak, gas, dan batu bara). Pemerintah mendukung bauran energi untuk mendukung penyelamatan perubahan iklim, tapi pada harga yang terjangkau," ujar Menteri ESDM Ignasius Jonan dalam pemaparan Outlook EBTKE 2017 di Jakarta, kemarin.

Pihaknya telah membentuk tim gabungan dari PT PLN (persero), PT Pertamina (persero), dan Direktorat Jenderal EBT dan Konservasi Energi untuk menyusun kebijakan harga yang mendorong pemanfaatan EBT.

"Mereka akan menyusun rekomendasi kebijakan harga yang mendorong pemanfaatan EBT listrik on grid. Harganya harus kompetitif, termasuk panas bumi," tuturnya.

Direktur Jenderal EBTKE Rida Mulyana menambahkan tinjauan batas harga jual listrik (feed in tariff) EBT dikebut sebelum akhir tahun ini.

Sebelumnya, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), porsi bauran energi untuk EBT pada 2025 ditargetkan 23% dan meningkatkan 45 Gw pembangkit listrik berbasis EBT.

Upaya peningkatan kapasitas pembangkit EBT terus dilakukan sepanjang 2016 yang mencapai 15% dari keseluruhan kapasitas terpasang, atau sebesar 8,7 Gw dari total 58 Gw.

Dalam 10 tahun ke depan, Indonesia membutuhkan kapasitas terpasang hingga 135 Gw dengan 45 Gw (33%) dari pembangkit EBT.

Penambahan kapasitas Pembangkit Listrik (PLT) EBT didapat pula dari beberapa jenis PLT, salah satunya PLT Panas Bumi (PLTP).

Kapasitas terpasang PLTP hingga Desember 2016 adalah 1.643,5 Mw, sedangkan pada 2017 ditargetkan menjadi 1.858,5 Mw.

Sementara itu, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro dengan kapasitas total 282,55 Mw di 2016.

"Tahun depan total keduanya meningkat menjadi 291,71 Mw. Pemerintah terus menarik minat swasta untuk berinvestasi di subsektor EBTKE," kata Ridha.

Jangan berkutat di harga

Dalam pandangan pengamat energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, pemerintah perlu menyelesaikan mekanisme tanggungan selisih harga yang ditetapkan pemerintah (ceilling price) dengan harga jual.

Berapa pun tarif yang ditentukan pemerintah erat kaitannya dengan pos subsidi yang masuk postur APBN.

"Perdebatan di DPR itu kan mempersoalkan selisih harga. Karena kalau itu masuk ke subsidi, tapi diberikan ke pengembang atau pelaku usaha. Harus dipertegas, siapa yang berkomitmen menanggung selisih harga itu dan bagaimana mekanismenya," ujar Pri, kemarin.

Menurutnya, langkah pemerintah membuat skema feed in tariff untuk berbagai jenis EBT sudah benar.

Kendati demikian, penentuan harga tidak perlu lagi diperdebatkan lantaran bisa dikaitkan dengan fluktuasi harga minyak dunia sebagai salah satu indikator penyesuaian harga.

"Setiap tahun hampir selalu muncul aturan baru soal harga. Harusnya pemerintah lebih maju, mantapkan dulu arah kebijakan."

Artinya, kata Pri, harus ada upaya menumbuhkan pemanfaatan EBT dalam struktur energi nasional.

Itu bukan berarti serta-merta membatasi penggunaan energi fosil.

"Target 23% akan tercapai ketika produksi EBT meningkat, bukan karena porsi energi fosil dikecilkan," tutupnya.

(Tes/E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya