Kenaikan FFR Dorong Potensi Ekspor Indonesia

MI
16/12/2016 13:29
Kenaikan FFR Dorong Potensi Ekspor Indonesia
(Sumber: Kemendag/Federalreserve.gov/L-1/Grafis: Ebet)

KENAIKAN suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) atau Federal funds rate (FFR) dapat menjadi peluang untuk menggenjot ekspor produk Indonesia, khususnya ekspor nonminyak dan gas (migas).

Dasarnya ialah AS merupakan mitra dagang nonmigas RI terbesar dengan porsi mencapai 11,97% atau setara nilai US$14,22 miliar sepanjang November 2016.

"Neraca perdagangan nonmigas kita dengan AS surplus US$7,7 miliar year-to-date, yang terbesar di antara negara-negara lain," ucap Direktur Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo dalam konferensi pers bulanan di Jakarta, kemarin (Kamis, 15/12).

FFR seharusnya memang tidak berpengaruh secara langsung kepada Indonesia, tetapi nyatanya pasar valas ataupun saham bergejolak. Dampaknya, rupiah berfluktuasi cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat.

Fakta ini, menurut Sasmito, mestinya dilihat sebagai peluang untuk meningkatkan daya tawar produk ekspor nasional di AS.

Kenaikan FFR ialah 25 basis poin menjadi 0,25% sampai 0,75%. Dengan asumsi penyesuaian sekurangnya tiga kali tahun depan, akan ada peningkatan tingkat bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,25% hingga 1,5%. Artinya, skenario ini akan membuat selisih bunga acuan BI 7 days reverse repo rate (7DRRR) yang saat ini dipatok di angka 4,75% menjadi 3,25% hingga 3,5% dengan FFR.

Kenaikan suku bunga acuan AS, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, suatu yang tidak perlu dikhawatirkan. Bila memang nantinya mesin ekonomi dari negara-negara maju mulai bergerak, Indonesia juga bisa memanfaatkan momentum tersebut.

Ditambahkannya, Indonesia berbeda dengan negara emerging market lainnya karena sejumlah faktor, antara lain tingkat pertumbuhan cukup tinggi, defisit APBN tergolong rendah, neraca pembayaran cukup bagus, dan hutang Indonesia yang masih prudent.

"Faktor faktor tersebut memberikan suatu fondasi yang solid bahwa Indonesia bisa dibedakan dalam artian yang positif," ujar Menkeu.

Sementara itu, ekonom Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono meyakini bahwa dampak kenaikan suku bunga FFR tidak akan berlangsung lama meski memang saat ini kecenderungannya para pemilik modal dan aset lebih memilih menyelamatkan asetnya dengan denominasi dolar AS.

Ini terlihat dari melesatnya transaksi indeks saham New York yang mencatatkan rekor 19700 atau tertinggi dalam sejarah. "Hal itu bisa diatasi kalau tax amnesty sukses. Artinya, kesuksesan tax amnesty bisa menghambat laju capital flow ke New York," jelas Tony. (Fat/Dro/Arv/X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya