PPN Komoditas Perkebunan Nirmanfaat

Andhika Prasetyo
15/12/2016 00:10
PPN Komoditas Perkebunan Nirmanfaat
(ANTARA /AJI STYAWAN)

SEBAGIAN besar komoditas primer perkebunan dan hasil olahannya ditujukan untuk kebutuhan ekspor.

Untuk itu, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% atas barang hsil perkebunan tidak memberikan manfaat bagi penerimaan negara.
Asosiasi-asosiasi hasil perkebunan di Indonesia mendesak agar PPN terhadap barang hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan tidak lagi dipungut.

"Kebijakan ini hanya memberatkan para petani, pedagang, eksportir, dan industri pengolahan. Ini menggerus daya saing industri secara keseluruhan," ujar anggota Dewan Teh Indonesia Teguh Kustiono di Jakarta, kemarin.

Ia menyebutkan pengenaan PPN 10% pada komoditas perkebunan telah membuat para petani terpukul karena menanggung beban cukup besar.

Hal itu menyebabkan berkurangnya pendapatan dan kesejahteraan petani.

"Itu membuat motivasi mereka untuk melakukan produksi menjadi merosot."

Hal serupa juga ditekankan Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia Sindra Wijaya.

Ia mengungkapkan, saat ini kapasitas terpasang produksi kakao mencapai 800 ribu ton per tahun.

"Namun, pada 2015, produksi biji kakao hanya mentok di 400 ribu ton. Utilitasnya hanya 50%," ujar Sindra.

Ia mengatakan penyebab tidak maksimalnya produksi tidak lain karena dikenai PPN 10% terhadap komoditas kakao.

"Dari 20 pabrik yang ada, hanya 10 yang tersisa, 10 lainnya tidak mampu bertahan karena besarnya biaya produksi, termasuk PPN 10%."

Sebelum diterapkan kebijakan pemungutan PPN, Sindra mengatakan utilitas produksi kakao bisa mencapai 70% dari total kapasitas.

Sementara itu, kini Indonesia malah jadi importir.

Pada 2015, impor kakao mencapai 109 ribu ton, sedangkan ekspor hanya 53 ribu ton.

Unggas lokal

Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) mendesak pemerintah melakukan pembinaan kepada para peternak rakyat dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri ketimbang melakukan kebijakan impor.

Sejak awal 2015, pemerintah membuka keran impor dari Malaysia guna memenuhi kebutuhan konsumsi daging bebek dan itik dalam negeri.

Ketua Himpuli Ade Zulkarnaen mengungkapkan, dengan masuknya unggas-unggas dari negeri jiran itu, para peternak yang tersebar di kawasan pantai utara Pulau Jawa sulit menjual bebek pedaging mereka karena tidak mampu bersaing dengan produk dari luar negeri.

"Izin impor ini sudah sejak awal 2015, tetapi dampak besar terasa dalam enam bulan terakhir," ujar Ade di Jakarta, kemarin.

Peternak lokal akhirnya harus menjual bebek mereka dengan harga sekitar Rp19.000 kg.

Padahal, sebelumnya mereka bisa menjual hingga Rp24.000 per kg.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, populasi bebek dan itik di Tanah Air pada 2016 mencapai 47 juta ekor atau setara produksi daging 36 ribu ton.

Kebutuhan nasional terhadap daging bebek dan itik mencapai 90 ribu ton.

Saat menanggapi Himpuli, melalui surat tertulis, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian mengungkapkan kebijakan tersebut sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, yakni Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2016. (E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya