Turun Kasta karena Banyak yang Belanja

MI
01/12/2016 08:29
Turun Kasta karena Banyak yang Belanja
(MI/Duta)

MENGENAKAN busana dan barang-barang merek fesyen ternama bisa menjadi takaran selera bahkan tingkat kemakmuran pemakainya. Namun, seiring dengan merajalelanya penggemar produk sebuah merek terkenal, hal itu justru berpotensi menurunkan hierarki atau kasta mereka di mata penikmat barang-barang berharga mahal itu.

Siapa yang tidak tahu Louis Vuitton, Bottega Veneta, Gucci, dan merek-merek fesyen ternama lainnya? Namun, dalam buku yang ditulisnya, Direktur Pelaksana HSBC Ewan Rambourg mengatakan, melihat merek apa yang dibeli terkadang lebih penting ketimbang uang yang dikeluarkan untuk membeli merek tersebut.

"Ada sebuah piramida merek untuk menunjukkan bagaimana merek-merek ternama tersebut menduduki level top of mind dalam masyarakat, seperti Starbucks atau berlian Graff," papar Rambourg seperti dirilis Businessinsider.com.au, beberapa pekan lalu.

Dalam piramida tersebut, dikatakan, merek yang terlalu mudah diakses atau didapatkan menjadi kurang menarik bagi pembeli yang superkaya. Louis Vuitton, misalnya. Saat ini merek tersebut sudah dianggap sebagai 'merek untuk sekretaris' oleh banyak orang Tiongkok yang kaya.

"Louis Vuitton telah menjadi terlalu biasa," kata seorang wanita miliarder, Direktur China Market Research Group Shaun Rein.

Menurutnya, semakin 'pasaran' sebuah produk di masyarakat, hal itu membuatnya tidak lagi berminat untuk memberli produk itu.

"Setiap orang memiliki itu. Anda melihatnya di setiap restoran di Beijing. Saya lebih suka Chanel atau Bottega Veneta sekarang. Mereka lebih eksklusif," paparnya

Hal serupa pun juga dialami Gucci, yang saat ini tengah menderita masalah reputasi. Sementara itu, barang pesanan dan label Eropa kurang terkenal seperti Bottega Veneta saat ini malah melonjak permintaannya. Konsumen 'fashionista' kini ternyata sangat meminati merek-merek mewah yang tidak pasaran.

"Saya membeli merek Maison Ullens di Paris. Itu adalah merek Prancis yang dibuat di Italia," ujar Sara Jane Ho, pendiri Institut Tiongkok.

Meski belum setenar merek yang lain, karena produk dari rumah mode itu terbatas dan eksklusif, ia tetap percaya diri untuk mengenakan, bahkan mempromosikan kepada murid-murid di sekolahnya. "Ketika saya kembali ke Tiongkok, semua siswa saya ingin tahu di mana pakaian saya berasal. Secara alami, sekolah saya menjadi titik penjualan Maison Ullens hanya karena murid-murid saya benar-benar suka membeli barang-barang mereka," paparnya.

Namun, benang merahnya tetap sama, barang yang diproduksi terbatas itu tetap yang paling mewah. "Entah Louis Vuitton, Scotch, atau Graff, kategori dipesan lebih dahulu adalah segmen tanpa batas di saat semua impian paling gila (dan harga) yang menjadi kenyataan," tutup Rambourg. (Anastasia Arvirianty/E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya