Harga Pembelian Listrik Panas Bumi akan Bersifat Tetap

Gabriela Jessica Restiana Sihite
06/11/2016 20:27
Harga Pembelian Listrik Panas Bumi akan Bersifat Tetap
(ANTARA)

PEMERINTAH sudah membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. Aturan tersebut akan mengamanahkan tarif pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) bersifat tetap.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana menyatakan kebijakan itu akan memudahkan para investor atau pengembang PLTP untuk berinvestasi di Indonesia.

Pasalnya, dari 29 ribu megawatt (mw) potensi tenaga panas bumi dan sekitar 17 ribu mw yang sudah terbukti, masih 1.500 mw yang sudah dimanfaatkan menjadi PLTP.

"Panas bumi adalah masa depan kita. Harus ada kemudahan untuk investasinya. Karena itu, di RPP Penugasan Tidak Langsung akan mengamanahkan adanya fix price (tarif tetap) untuk pembelian listrik PLTP oleh PT PLN ke para pengembang," papar Rida dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (6/11).

Menurutnya, RPP tersebut sudah masuk ke Sekretariat Negara dan tinggal ditandatangani Presiden Joko Widodo. Setelah itu, aturan fix price yang berbentuk Peraturan Menteri ESDM (Permen ESDM) bisa langsung juga ditandatangani.

"Sudah ada tabel pengaturannya. Kalau yang terbukti di lapangan itu berapa mw, tarifnya berapa. Setelah RPP ditandatangani, Permen fix price-nya langsung kita tanda tangani. Inginnya kita sih tahun ini sudah semuanya beres," tandas Rida.

Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM Yunus Saefulhak menjelaskan pengaturan fix price dibuat karena selama ini negosiasi tarif panas bumi sangat lambat antara PLN sebagai pembeli listrik dan pengembang PLTP sebagai penjual listrik.

Lambatnya negosiasi tarif tersebut terjadi karena jumlah panas bumi yang terbukti seringkali lebih kecil dari kesepakatan awal investasi sang pengembang dengan PLN.

"Mekanisme di awal yang menghambat pengembangan panas bumi. Tender berdasarkan tarif. Belum pengeboran sumur, sudah tender. Padahal belum tentu setelah pengeboran, hasil megawattnya sama dengan tender awal. Kalau tidak sama, negosiasi lagi. Itu jadi lama. Makanya, solusinya fix price. Tender berdasarkan programnya," papar Yunus.

Yunus menerangkan pengembang akan melakukan pengeboran terlebih dahulu. Setelah mengetahui berapa jumlah listrik yang bisa dihasilkan, baru tarif listrik ditentukan, tanpa harus negosiasi dengan PLN.

"Jadi tarif sesuai yang terbukti. Ada di tabelnya nanti dengan skala 5 mw-220 mw," tukasnya.

Dia pun merinci tarif listrik tersebut dibuat berdasarkan temperatur uap panas bumi, wilayah dibangunnya PLTP, dan banyaknya sumber energi di wilayah tersebut.

"Berdasarkan wilayah karena kita juga melihat infrastruktur di daerah itu. Semakin maju daerahnya, tarif bisa semakin murah," ucap Yunus.

Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Irfan Zainuddin menyambut baik aturan yang akan dirilis pemerintah itu. Dia menilai hal tersebut akan memberikan kepastian usaha kepada para pengembang panas bumi.

Selama ini, kata dia, aturan tarif PLTP sebenarnya sudah cukup menguntungkan pengembang lewat Permen ESDM No 17/2014. Namun, aturan tersebut masih memiliki kekurangan karena hanya mengatur batas atas tarif pembelian listrik oleh PLN dari pengembang. Tidak ada batas bawah yang akhirnya membuat negosiasi antara PLN dan pengembang menjadi sangat lama.

"Turki juga sejak diberlakukan fix price, panas buminya langsung sangat berkembang. Ini bagus untuk memberi kepastian buat kita," imbuhnya.

Kendati demikian, Irfan menilai masih ada kebijakan perizinan yang menyulitkan pengembangan panas bumi. Perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dinilai masih terlalu banyak dan memberatkan pengembang.

"Karena panas bumi adanya di hutan dan wilayaj konservasi, izin menjadi lama. Kita menunggu gebrakan pemerintah soal isu lingkungan ini," tukasnya.

Adapun menurut pemerintah, jumlah perizinan panas bumi dari Kementerian ESDM sudah dipangkas dari 29 izin menjadi 5 izin. Namun, pemangkasan izin itu tidak dibarengi oleh instansi lain seperti KLHK dan pemerintah daerah. Karena itu, total izin untuk mengembangkan panas bumi dinilai masih banyak, yakni mencapai 76 izin.

"Izin dan lelang di daerah yang juga sering membuat investasi panas bumi lambat. Saya melihat ini karena aparat daerah banyak yang tidak paham tentang lelang panas bumi," pungkas Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya