Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
PENURUNAN investasi di sektor migas tidak semata dipengaruhi rendahnya harga komoditas dari sumber energi fosil tersebut. Tingginya risiko operasional dengan tingkat pengembalian investasi yang rendah menjadi penyebab pelaku usaha enggan menanamkan modal di sektor ekstraktif itu.
”Kalau proyek IRR (internal rate of return) rendah, tidak ada orang yang investasi. Padahal ladang minyak yang gampang sudah habis, tinggal yang sulit,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta, kemarin.
Karena itu, imbuhnya, hal itu masuk dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) 79/2010 tentang biaya operasi yang dikembalikan (cost recovery) yang saat ini masih terus digodok pemerintah. Nantinya diharapkan tingkat pengembalian investasi (internal rate of return/IRR) di sektor hulu migas bisa di atas 15%. “Investasi migas harus terus bergairah, meski harga minyak dunia rendah. Dengan IRR di atas 15%, investor baru mau menggarap sumur migas.”
Saat ini IRR hulu migas di Indonesia rata-rata di kisaran 8%. Selain itu, Luhut juga menginginkan kewenangan mengatur formula cost recovery berpindah dari Kementerian Keuangan ke Kementerian ESDM. Hal itu tengah didiskusikan dengan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo dan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi.
“Formula itu mau dibicarakan malam ini (kemarin malam). Jadi kewenangan yang dulu ada di sini (Kementerian ESDM) kemudian dialihkan ke Kemenkeu itu kita minta supaya di sini lagi. Misalnya, di sini yang mengevaluasi, lapangan ini sulit, kita kasih pembagian sahamnya seperti ini,” paparnya.
Namun, Direktur Jenderal Migas IGN Wiratmaja Puja belum mau memaparkan revisi PP No 79/2010. “Nanti ya. Saya laporan dulu,” ucapnya.
Revisi tata kelola
Di sisi lain, revisi Undang-Undang Migas 22/2001 yang tengah digarap parlemen diharapkan memberi perbaikan tata kelola sektor migas nasional.
“Yang paling penting adalah bagaimana memahami bisnis proses dari sektor migas. UU Migas sudah jelas dan komprehensif. Tetapi, memang ada trade off dengan konstitusi dalam kaitannya di bisnis proses migas dari hulu ke hilir,” ujar Kepala Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Andy N Sommeng dalam diskusi tentang sektor ESDM yang digelar Ikatan Alumni (Iluni) UI di Jakarta, kemarin.
Akibat ketidaksempurnaan UU terdahulu, imbuhnya, pemburu rente memanfaatkan kelemahan di peraturan pemerintah dan peraturan menteri. “Ada tiga hal yang harus diperhatikan, pertama hak mineral, kedua hak penambangan, dan terakhir hak ekonomi yang juga berkaitan dengan kegiatan hilir, yaitu hak ekonomi masyarakat,” tuturnya.
Proyek lain yang disoroti dalam diskusi itu terkait program kelistrikan 35 ribu megawatt (Mw). Pengamat Energi dan Pertambangan Ryad Chairil menilai peningkatan efisiensi pembangkit yang ada jauh lebih berguna untuk mengoptimalkan pencapaian program daripada pembangunan pembangkit baru.
“Dari data Ditjen Ketenagalistrikan, kapasitas terpasang PLTU di 2015 sebesar 55.529 Mw. Konsultan seperti McKinsey bilang tingkat efisiensi pembangkit Indonesia 25%-32%. Jika dilakukan peningkatkan efisiensi menjadi 40% dalam 3 tahun, artinya kapasitas terpasang 69.411 MW. Maka pemerintah dapat menambah 15 ribu Mw tanpa harus membangun pembangkit listrik baru,” paparnya.
Efisiensi ini juga perlu dilakukan dengan revitalisasi pembangkit menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan batu bara. (Jes/E-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved