Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Awal tahun ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka ketenagakerjaan yang cukup melegakan. Di tengah tekanan perlambatan aktivitas perekonomian, jumlah pengangguran terbuka per Februari 2016 melandai menjadi 7,02 juta atau 5,5% dari angkatan kerja. Dengan indikator angka pengangguran terbuka 5,5%, artinya dari setiap 100 angkatan kerja, ada 5-6 orang yang menganggur.
Setahun sebelumnya, jumlah pengangguran terbuka mencapai 7,56 juta (6,18%).
Berdasarkan tingkat pendidikan, mereka yang jebolan sekolah menengah kejuruan ternyata ‘menyumbang’ porsi pengangguran terbuka tertinggi, yaitu 9,84%. Sebaliknya, kontribusi terendah berasal dari penduduk berpendidikan SD ke bawah, yaitu 3,44%.
“Mereka yang berpendidikan rendah cenderung mau menerima pekerjaan apa pun, sementara mereka yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih pekerjaan yang sesuai,” terang Kepala BPS Suryamin.
Sejalan dengan fenomena itu, nyaris separuh dari angkatan kerja yang berjumlah 120,65 juta merupakan lulusan SD ke bawah. Tepatnya 52,43 juta. Hanya 13,7 juta yang lulusan diploma dan universitas.
Jumlah pengangguran yang masih terbilang lumayan, dengan sebagian besar berpendidikan sekolah menengah, plus angkatan kerja yang didominasi penduduk berpendidikan dasar, sesungguhnya memantik banyak pertanyaan, atau mungkin lebih tepatnya keprihatinan.
Bagaimana daya saing tenaga kerja Indonesia di era Masyarakat Ekonomi ASEAN ini jika sebagian besarnya hanya berbekal pendidikan dasar? Mengapa begitu banyak pengangguran dari sekolah kejuruan, mereka yang seharusnya sudah siap masuk lapangan kerja dengan pendidikan yang mestinya berorientasi skill?
Dalam salah satu upaya menjawab keprihatinan itu, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla akan mendorong keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasional. Harapan pemerintah mereka yang kelak lulus akan lebih mudah terserap pasar tenaga kerja.
“Model kerja sama dengan swasta nanti kita buat. Dengan masuknya swasta, pemerintah tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak. Hanya perlu memberi insentif,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam pernyataannya di Jakarta, awal Agustus.
Menurutnya, model baru pendidikan dan pelatihan dengan melibatkan swasta perlu mencontoh beberapa negara lain yang sudah berhasil dengan program serupa.
Menurut dia, percepatan peningkatan kompetensi tenaga kerja melalui revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasional sangat penting agar Indonesia mampu bersaing dalam persaingan bebas dengan negara lainnya. “Secara kelembagaan, mekanisme pelatihan dan pendidikan vokasional ini sudah ada, tapi belum berjalan dengan baik,” imbuhnya.
Berkenaan dengan kompetensi pendidikan dan pelatihan vokasional, Darmin juga menekankan adanya komposisi belajar yang lebih seimbang. Program itu, kata dia, nantinya harus lebih memfokuskan pada praktik. Komposisi ideal ialah 70% job training (magang) di industri dan 30% teori dengan kurikulum berbasis kompetensi.
“Kalau sudah tamat dari pendidikan vokasional, mereka tidak hanya mendapatkan ijazah, tetapi juga sertifikat berdasarkan standar kompetensi dari modul yang ada. Untuk pelatihan, tentunya dibuat lebih sederhana,” papar Darmin.
Kemudian, percepatan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasional yang memiliki standar kompetensi juga penting untuk mempersiapkan SDM yang terampil (skilled worker) untuk kebutuhan industri. Oleh karena itu, imbuhnya, wajib untuk memperkuat kewenangan kelembagaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Bersepakat
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengamini kualitas tenaga kerja Indonesia masih perlu ditingkatkan dengan mengingat mayoritas dari mereka berpendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Ia mengatakan pemerintah bisa memberikan dukungan untuk mendorong keterlibatan swasta, melalui percepatan implementasi skema kemitraan pemerintah-swasta (KPS). Saat ini dukungan pendanaan untuk anggaran vokasi Indonesia belum memadai atau hanya sekitar Rp2 triliun untuk 128 juta tenaga kerja.
“Jumlah ini jauh berbeda dengan negara tetangga, Malaysia memiliki anggaran Rp13 triliun untuk 15 juta tenaga kerja yang mereka miliki,” imbuhnya.
Menurut Hanif, kementeriannya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi sudah sepakat untuk mengintegrasikan pendidikan vokasi. “Jadi, kira-kira nanti fungsi Kementerian Ketenagakerjaan apa terus kemudian Kemenristek Dikti apa lalu Kemendikbud apa,” kata dia.
Kesepakatan tersebut demi mempercepat peningkatan kompetensi tenaga kerja menjadi tujuan pemerintah. Tentunya, kompetensi yang relevan dengan kebutuhan industri. Oleh karena itu, lanjut Hanif, pemerintah pun perlu melibatkan sektor swasta.
“Kuncinya bagaimana agar dari segi kelembagaan, proses pendidikan, dan pelatihan bisa terintegrasi supaya upaya kita memfokuskan memasifkan percepatan dan peningkatan tenaga kerja bisa bagus,” ujar Hanif. (Ant/E-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved