Tata Kelola BUMN Kembalikan ke Nawa Cita

Fetry Wuryasti
16/8/2016 08:12
Tata Kelola BUMN Kembalikan ke Nawa Cita
(Antara/Yusran Uccang)

BANYAK kalangan mengakui badan usaha milik negara (BUMN) adalah salah satu penggerak roda perekonomian nasional. Eksistensi perusahaan-perusahaan pelat merah itu dibutuhkan untuk membawa negeri ini menggapai tujuan dalam menyejahterakan rakyat.

Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit BUMN yang berjalan tak sesuai harapan. Itu terutama disebabkan pengelolaan yang jauh dari profesional ditambah dengan kontrol dan pengawasan yang minim. Untuk sebagian BUMN itu, jangankan berharap mereka bisa bersaing di kancah global, untuk memenangi kompetisi di dalam kandang saja susah.

Direktur Pusat Kajian Keuangan Negara, Prasetyo, mengatakan tata kelola BUMN sebagai perpanjangan tangan pemerintah semestinya harus dikembalikan pada rel Nawa Cita, cita-cita yang diusung Presiden Jokowi, khususnya dalam menciptakan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Di masa mendatang, BUMN tidak boleh lagi membebani APBN. Mereka justru harus mampu memberi nilai tambah bagi anggaran negara yang semakin berat belakangan ini.

“Dalam konteks sekarang, itu artinya semua BUMN harus mematuhi perintah Presiden agar kencangkan ikat pinggang atau melakukan efisiensi belanja yang tidak perlu,” jelasnya.

Pengamat ekonomi Enny Sri Hartati mengatakan dahulu banyak BUMN dijadikan sapi perah karena ketiadaan monitoring dan evaluasi. Tidak ada pengaturan administrasi secara birokrasi oleh satu kementerian dan langsung menginduk kepada sektor masing-masing sebagai entitas bisnis. “Akhirnya muncul gagasan menghadirkan kementerian BUMN untuk mengawasi tata kelolanya.”

Namun, harus diakui, praktik pemanfaatan BUMN sebagai sapi perah itu masih terjadi. Efisiensi di sebagian BUMN juga belum terjadi. Profesionalitas dan kinerja masih compang-camping, yang membuat kontribusi mereka kepada negara amat minim, bahkan nihil.

Isu terkini yang kini menjadi program terdepan Menteri BUMN Rini Soemarno untuk penguatan BUMN ialah pembentukan induk (holding) BUMN.

Eny sepakat dengan rencana pembentukan holding BUMN yang ia sebut dapat memunjang prioritas kinerja pemerintah per sektor. Integrasi tersebut, menurutnya, akan semakin memudahkan koordinasi.

“Sehingga tidak akan terjadi tumpang-tindih, dan target dari tiap-tiap sektor bisa terdukung. Akan tetapi, harus dilengkapi dengan pemerintah menetapkan SOP dan mekanisme monitoring dan evaluasinya sehingga BUMN bisa betul-betul memerankan agent of development,” kata Eny.

Pengamat BUMN Said Didu menyebut proses pembentukan holding, akuisisi, dan likuidasi harus dijalankan agar terarah restrukturisasinya. Saat ini, kata dia, banyak BUMN yang sudah tidak berimbang, bahkan tidak jelas prospeknya, yang seharusnya tetap pada core bisnis.

“Ada BUMN yang asetnya tidak sampai Rp100 miliar, tapi ada juga yang sampai Rp800 triliun. Langkah-langkah untuk holding, merger, akuisisi, dan bahkan likuidasi itu harus dilakukan. BUMN yang sudah tidak memiliki prospek seharusnya dilikuidasi dan dimerger.”

PMN diperlukan
Terkait dengan pengucuran penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN, Said Didu mengatakan modal tambahan itu diberikan sebetulnya dalam rangka mempermudah penugasan pemerintah ke BUMN. Kebijakan tersebut, menurutnya, menjadi tepat di saat negara membutuhkan percepatan pembangunan, sementara anggaran terbatas.

Yang terpenting, mekanisme tersebut dijaga jangan sampai PMN justru tidak digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi. Yang dikhawatirkan, tutur Said, bila konsep pemberian PMN untuk meningkatkan kapasitas produksi tidak terwujud.

“PMN itu harus dilakukan mekanisme khusus (SOP) dan audit khusus oleh BPK, bukan sekadar general audit, karena yang ditakutkan ialah uang itu tidak digunakan sebagaimana mestinya saat diusulkan,” tuturnya.

Di lain pihak, Prasetyo mengatakan PMN masih diperlukan khususnya bagi BUMN yang mengemban amanah langsung kepada pelayanan publik dan peningkatan UMKM. Ia menyebut contoh Perum Jamkrindo yang mengawal kredit usaha rakyat (KUR), Bulog, dan PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Dalam aras ekonomi makro, kata Prasetyo, BUMN harus cepat merealisasikan belanja modal mereka yang ditaksir mencapai Rp400 triliun. Di samping itu, semua BUMN juga harus mematuhi perintah Presiden agar kencangkan ikat pinggang atau melakukan efisiensi belanja yang tidak perlu.

“Sedangkan dalam aras mikro, optimalisasi penyaluran KUR bagi semua BUMN yang sudah ditunjuk pemerintah, panglimanya Perum Jamkrindo. Selain itu, bentuk tanggung jawab atas PKBL BUMN perlu dilaksanakan dengan efisien dan tepat sasaran,” ujarnya. (E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya