APBN 2016 Dirombak

Nuriman Jayabuana
03/6/2016 09:57
APBN 2016 Dirombak
(Dok.MI)

Pemerintah mengajukan perubahan atas APBN 2016 kepada parlemen. Berbagai asumsi makro, target penerimaan, dan belanja direvisi turun. Sejumlah asumsi makro yang diturunkan, antara lain inflasi, nilai tukar, harga minyak Indonesia, dan target produksi (lifting) migas. Sementara itu, target pertumbuhan ekonomi dan suku bunga SBN tetap dipertahankan.

"Tentu saja ada dampak fiskal akibat dari perubahan asumsi dasar itu. Baik dari segi pendapatan maupun belanja," ujar Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro saat rapat dengan Badan Anggaran DPR di Jakarta, kemarin.

Pemerintah memangkas target penerimaan negara menjadi Rp1.734,5 triliun. Bambang meng­ungkapkan porsi penurunan terbesar ditujukan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dipangkas Rp68 triliun. "Di satu sisi kami lihat ada potensi shortfall besar di pajak, dan kami juga kurangi PNBP," kata dia. Adapun target penerimaan perpajakan diturunkan menjadi Rp1.527,1 triliun.

Di sisi lain, belanja pemerintah juga ikut menciut menjadi Rp2.047,8 triliun. "Belanja diefisiensikan, tapi belanja ke daerah lebih besar. Untuk pertama kalinya transfer ke daerah lebih besar daripada belanja K/L (kementerian dan lembaga)," papar Bambang.

Estimasi penerimaan dan belanja yang lebih rendah tak terlepas dari perubahan asumsi untuk harga minyak (Indonesia crude price/ICP) dan lifting minyak. Berdasar kalkulasi pemerintah, akan ada dampak berupa penurunan pajak penghasil­an (PPh) migas Rp17,1 triliun dan PNBP migas Rp50,2 triliun.

Meski belanja dan penerimaan sama-sama menyusut, defisit APBN diproyeksikan melebar menjadi 2,48% dari produk domestrik bruto. Defisit akan dipenuhi dari peningkatan utang yang mencapai Rp40 triliun lebih. "Pembiayaan anggaran akan memanfaatkan sebagian dari sisa anggaran lebih, dan termasuk menambah penerbit­an SBN (surat berharga negara)."

Dalam rapat serupa, Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan pertumbuhan ekonomi masih berpeluang mencapai ekspektasi awal, 5,3%. Sementara itu, pergerakan kurs rupiah selama 2016 ia perkirakan relatif stabil pada kisaran 13.500-13.800 per dolar AS.

Ketua Badan Anggaran DPR Kahar Muzakir mengungkapkan pihaknya akan mengagendakan pembentukan panja untuk membahas RAPBN-P 2016, pekan depan.

Dipertanyakan
Di lain hal, Menteri Keuangan mempertanyakan kebijakan lembaga Standard & Poor’s (S&P) Global Ratings yang kembali mempertahankan rating Indonesia di BB+/positive, satu level di bawah investment grade. Padahal, lembaga pemeringkat lain, Fitch dan Moody’s, telah menyematkan investment grade bagi Indonesia.

Basis penilaian S&P itu, antara lain rasio utang Indonesia masih dianggap tinggi, akan mencapai 25% dari PDB di 2016, dan kinerja fiskal yang belum membaik.

PDB per ka­pita yang masih di kisaran US$3.600 juga dinilai masih rendah.

"Alasan mereka rasio utang standar negara yang dapat investment grade itu banyak yang debt to GDP ratio-nya di atas kita. Defisitnya jauh di atas kita. Makanya saya mempertanyakan S&P," ujar Bambang

Dalam kesempatan terpisah, Menko Perekonomian Darmin Nasution beranggapan S&P cenderung menunggu terobosan pemerintah. "Saya percaya mereka ingin melihat apa yang akan dilakukan Indonesia, termasuk bagaimana hasil tax amnesty dan implikasinya."

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Franky Sibarani menilai afirmasi rating dari S&P tetap bermakna positif dalam kondisi perekonomian dewasa ini.

Sovereign country rating dari lembaga pemeringkat acap dianggap investor menggambarkan risiko investasi di negara terkait, baik lewat obligasi negara maupun pinjaman. Semakin tinggi rating yang dimiliki, biaya bunga yang perlu dibayarkan kembali oleh pemerintah ke investor akan semakin rendah. (Arv/Dro/Ire/E-2)

nuriman@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya