Krisis Angkatan Kerja Bayangi RI

Irene Harty
24/5/2016 10:00
Krisis Angkatan Kerja Bayangi RI
(ANTARA/Prasetia Fauzani)

INDONESIA tidak boleh lengah meski saat ini masih menikmati bonus demografi. Tak sampai 25 tahun dari sekarang, Indonesia akan menghadapi masalah penuaan penduduk yang berpotensi kuat menyusutkan jumlah penduduk angkatan kerja.

Bank Dunia menyarankan pemerintah segera mempersiapkan strategi menghadapi masalah yang diperkirakan memuncak di 2040 tersebut. Jika antisipasinya terlambat, amat mungkin pemerintah akan dibom dengan lonjakan anggaran untuk menanggulangi kemiskinan akibat penuaan penduduk.

"Risiko terbesar penuaan ialah risiko fiskal. Jika tidak ada sistem yang diubah, akan banyak kemiskinan terjadi di usia tua dan akhirnya pemerintah harus mengeluarkan anggaran belanja yang lebih besar," kata ekonom utama Bank Dunia Phillip O’Keefe pada Laporan Masalah Penuaan di Asia Timur dan Pasifik di Jakarta, kemarin

Saat ini, penduduk lansia di Indonesia mencapai 18,78 juta jiwa. Sebanyak 2,8 juta jiwa di antara mereka dikategorikan miskin. Untuk membiayai penduduk kategori itu dan mencegah kemiskinan berkelanjutan, Kementerian Sosial memerlukan anggaran Rp6,72 triliun per tahun.

Phillip memaparkan strategi yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi kondisi itu ialah pembenahan sistem pensiun. Selain itu, perlu dicermati pula banyaknya usia senja yang bekerja di sektor informal yang memerlukan jaminan sosial terutama kesehatan.

Senada dengan Phllip, ahli kependuduk­an dari Universitas Indonesia Prijono Tjiptoherijanto mengungkapkan sistem penghitungan dana pensiun mesti diubah. Menurutnya, pensiun berdasarkan benefit atau manfaat yang dapat menyebabkan uang negara habis diubah skemanya menjadi berdasarkan kontribusi atau dari pajak yang sudah diberikan.

Namun, ia tak terlalu yakin pemerintah sudah menyiapkan langkah antisipasi untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang bakal muncul. "Pemerintah ini siap enggak hadapi, ada enggak pemerintah siapkan program kerja apa saja," tuturnya.

Ekonom CSIS Djisman Simandjuntak menyebut perlindungan tenaga kerja nonformal yang sekitar 70% dari seluruh tenaga kerja diperlukan untuk mengatasi akibat dari setopnya bonus demografi yang berimbas pada kemiskinan.

Akan tetapi, ia lebih menyoroti pentingnya teknologi untuk dimanfaatkan lebih maksimal. "Kita bergerak ke masyarakat granular. Teknologi akan memungkinkan bertindak lebih ekonomi saat ada implikasi penuaan."

Inefisiensi anggaran
Di tempat lain, Direktur Eksekutif IDEAS Yusuf Wibisono menyebut kemiskinan yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan inefisiensi dan stagnasi dari postur anggaran pemerintah. "Anggaran mesti fokus untuk mengatasi kesenjangan, bukan diprioritaskan untuk meningkatkan belanja birokrasi," ungkapnya saat peluncuran buku Indonesia Pro Poor Budget Review 2016 di Gedung Dewan Pers, Jakarta, kemarin.

Solusi yang ditawarkan Yusuf lebih difokuskan pada penciptaan lapangan kerja, bukan dengan transfer pendapatan atau bantuan langsung tunai yang tidak menciptakan ekonomi inklusif.

Anggota DPR RI Komisi VIII Ledia Hanifah Amaliah mengatakan penanggulangan kemiskinan harus didukung kebijakan anggaran untuk kemandirian, kebijakan proteksi UMKM, serta kepekaan dan kepedulian birokrasi. "Selain itu, masyarakat miskin perlu meningkatkan kemampuan literasi dan akses bank sebagai transaksi ekonomi," tuturnya. (Ant/E-1)

irene@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya