Minerba Butuh Digitalisasi

Tesa Oktiana
31/3/2016 08:44
Minerba Butuh Digitalisasi
(MI/Denny Saputra)

PENURUNAN harga komo­ditas telah mengguncang pelaku usaha sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba). Hal itu masih ditambah dengan kondisi berlebihnya pasokan (oversupply) akibat anjloknya permintaan konsumen di dalam dan luar negeri. Sejatinya kondisi tersebut bisa dikurangi apabila ada akurasi dan integrasi data antara pasokan dan kebutuhan konsumen minerba.

"Salah satu masalah klasik di minerba ialah minimnya integrasi data ihwal produksi dan konsumsi. Ditjen Minerba tengah merumuskan one map policy yang mengusung aspek digitalisasi yang nantinya bisa memantau jalur distribusi, posisi produksi, berapa kebutuhan konsumsi," papar Menteri ESDM Sudirman Said dalam diskusi Optimizing Indonesia’s Energy Resources Using Digital Technology, di Jakarta, kemarin.

Hal itu menjadi upaya menggairahkan sektor minerba setelah revisi harga batu bara untuk pembangkit listrik di mulut tambang yang diharapkan membuat kegiatan eksplorasi kembali bergairah. "Sekarang sedang diatur, sebentar lagi keluar," ujarnya.

Dalam kesempatan yang berbeda, Menteri Perdagangan Thomas Lembong meminta masyarakat mengakrabi perkembangan teknologi sebagai peralihan dari era keemasan sektor pertambangan.

"Sekarang harga komoditas turun, banyak perusahaan tutup. Perkembangan industri teknologi bisa jadi andalan untuk menggerakkan ekonomi," ujar Thomas dalam Alpha JWC Ventures Conference di Jakarta, kemarin.

Analis partner di McKinsey & Company Soegeng Wibowo menuturkan sejumlah negara telah menerapkan digitalisasi bisnis hulu-hilir minerba. "Banyak sisi positifnya. Misalnya perusahaan tidak perlu lagi menyewa sopir karena truk sudah dikendalikan operator yang duduk di balik layar. Hal itu mendatangkan efisiensi produksi," jelasnya.

Hanya, pemangku kepentingan berikut regulator harus duduk bersama merumuskan aturan untuk mengantisipasi permasalahan dari implementasi teknologi tersebut.

"Tentu saja mengubah ke arah digitalisasi juga akan memunculkan masalah baru karena otomatis akan banyak tenaga kerja yang dikurangi. Pemerintah dan pelaku usaha harus antisipasi jangan sampai menambah angka pengangguran," sarannya.

Andalkan sel surya

Sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan batu bara, pemerintah meningkatkan porsi energi baru terbarukan (EBT) seperti sel surya di Indonesia.

Untuk itu, pemerintah mendo­rong inisiasi pemasangan sel surya di atap rumah dan perkantoran untuk bisa menghasilkan listrik mandiri.

"Jaringan listrik harus desentralistis. Penerapan sel surya bisa di Indonesia Timur yang berlimpah tenaga matahari. Jadi, mereka tidak hanya mengonsum­si listrik, tapi juga memproduksi. Bahkan PLN bisa membeli listrik yang oversupply," Sudirman menambahkan.

Menurutnya, pengembangan EBT dalam 10 tahun diperkirakan membutuhkan dana Rp260 triliun. Dalam proyek listrik 35 ribu Mw kontribusi bauran EBT diharapkan mencapai 25%.(E-4)

tesa@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya