Bambu Hadiah Alam untuk Manusia

Ardi Teristi Hardi
27/3/2016 11:42
Bambu Hadiah Alam untuk Manusia
(MI/Ardi Teristi Hardi)

ORANG Indonesia selalu berkorelasi dengan bambu, mulai lahir hingga wafat. Bambu digunakan untuk memutus tali pusar, sunat, membuat perlengkapan rumah tangga, hingga tempat meletakkan mayat.

Masyarakat juga menanam bambu untuk konservasi air dan tanah, mengurangi erosi dan menyimpan air di dalam tanah, serta daunnya yang gugur digunakan untuk pupuk alami.

Namun, pada 1970-an, bambu dimusuhi masyarakat saat gerakan listrik masuk desa dan salah satu program PKK tentang kebersihan rumah tangga. Saat itu, banyak pohon bambu yang ditebang karena dianggap mengotori dan tempat bersarang ular. Dari situ, Jajang Sonjaya, alumnus arkeologi yang banyak meneliti hubungan masyarakat dengan bambu, berinisiatif menyalakan kembali cinta masyarakat pada bambu.

''Bambu menjadi titik strategis menyelamatkan lingkungan, substitusi kayu, dan isu konservasi. Bambu juga punya nilai ekonomi luar biasa. Dengan pembudidayaan dan pengolahan yang baik, bambu dapat turut menjaga kelestarian lingkungan dan menyejahterakan masyarakat. Riset intensif tentang bambu dimulai sejak 2000,'' kata Jajang di kantornya di Dusun Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, (14/3).

Jajang menginisiasi sekolah lapangan bambu di desa-desa. Warga diajari budi daya bambu, seperti pembibitan dan menanam. ''Dari 2000-2006, saya murni menjadi aktivis bambu untuk konservasi,'' kata Agus.

Serius di bambu
Peralihannya dari idealisme menjadi kecintaan berpadu dengan bisnis terjadi sejak 2006. Berawal pada 2006, setelah terjadi gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. ''Saat itu banyak yang menghubunginya untuk mendapatkan bambu,'' kata Jajang.

CV Rumpun Bambu Nusantara alias Bambubos pun kemudian dirintis. Bambu kemudian menjadi sumber nafkah yang menjanjikan. ''Banyak tawaran untuk menyediakan bambu dengan kontrak hingga ratusan juta. Bambu-bambu tersebut digunakan untuk membangun rumah, sekolah, hingga gudang,'' kata Jajang.

Bambubos pun kemudian dikelola profesional, dengan tetap berpegang pada isu lingkungan dan ekonomi kerakyatan. Ia menghindari betul praktik monopoli. Ia mengupayakan berbagi rezeki melalui bermitra dengan warga desa, dari penyediaan bibit, pengawetan hingga pasokan tenaga kerja.

''Bisnis bambu memiliki prospek cerah ke depan karena bambu bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal, dari tusuk gigi, tusuk sate, barang kerajinan, furnitur, hingga konstruksi bangunan. Di samping itu, modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha bambu tidak terlalu besar dengan pasar yang masih terbuka,'' ujar Jajang.

Saat ini, lanjut Jajang, terdapat empat bambu yang banyak dimanfaatkan Bambubos, yaitu apus, petung, wulung, serta andong atau pringsurat. ''Kami fokus pada produk-produk yang high class sehingga tidak bersaing dengan kerajinan rakyat yang sudah ada,'' kata dia.

Bidikan pada kelas premium, kata Agus, juga jadi sarana Jajang menyadarkan masyarakat tentang manfaat dan kualitas bambu. Pasalnya, hingga sekarang masih banyak orang yang tidak percaya bambu memiliki kualitas baik, bahkan lebih baik daripada kayu.

''Kami telah membuktikan, bambu kami sampai hingga luar negeri, seperti Australia, Filipina, Thailand, Denmark, Inggris, Tanzania, hingga Maldives,'' kata Jajang.

Pemberdayaan
Jajang menyebut bentuk bisnis yang digelutinya ialah socioeco entrepreneur, lekat dengan pemberdayaan sosial masyarakat dan berbasis ekologi.

''Pada 2000-an, semua yang dilakukan berdasarkan hobi dan kepedulian terhadap konservasi lingkungan. Misalnya, ketika ada orang yang menghubungi ingin membuat community center, saya menyanggupi dan membuatkannya. Kegiatan yang dilakukan saat itu ada juga yang menggunakan dana hibah. Karena saat itu hobi. Kami tidak pernah memperhitungkan untung rugi,'' kata Jajang.

Ia mencatat modal awalnya untuk bisnis Bambubos yang dimulai 2006 sekitar Rp450 juta yang didapat dari hibah dan dana dari individu-individu. Saat memulai usaha tersebut, kata dia, tidak ada kendala karena dari modal tersebut ia dapat berproduksi dan menghasilkan keuntungan bersih sekitar Rp400 juta.

Dari modal dan keuntungan tersebut, Jajang menggulirkan usahanya hingga sekarang. ''Uang kami sampai sekarang ya masih sekitar itu. Kami memang perusahaan kecil. Tapi, kalau dihitung manfaatnya, kami telah memberdayakan orang dalam jumlah banyak,'' kata dia.

Ia mencontohkan perusahaannya telah membantu membangun pengawetan bambu di desa-desa dengan memberi mereka pinjaman. Dengan cara itu, keuntungan yang didapat masyarakat dari menjual bambu lebih banyak.

Sebelumnya, mereka menjual bambu Rp10 ribu per batang. Namun, setelah mengaplikasikan teknik pengawetan, kini mereka bisa menjual bambu Rp24 ribu per batang. ''Keuntungan mereka sekarang sekitar Rp9.000 per batang, dari sebelumnya
hanya Rp1.500 per batang,'' kata dia.

Pengawetan bambu
Bambubos pun kini memiliki banyak produk berbahan bambu yang sudah diawetkan, antara lain konstruksi dan furnitur. Untuk konstruksi, kata dia, harga per meter persegi dari Rp800 ribu hingga Rp4 juta. Untuk furnitur, kata dia, harganya bervariasi, misalnya set kursi bambu sekitar Rp4 jutaan.

''Saat ini kami juga tengah mengerjakan konstruksi kerangka masjid dari bambu di Malaysia,'' kata dia. Nilai proyek pembangunan kerangka masjid tersebut sekitar Rp600 hingga 700 juta.

Berkembangnya bisnis bambu yang digeluti membuat Jajang harus meninggalkan pekerjaan sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada yang digelutinya dari 1999 hingga tahun lalu. Ia memilih fokus pada bisnis bambu dan pemberdayaan masyarakat di bidang lingkungan, terutama di bidang bambu.

''Saya terus konsentrasi mengangkat citra bambu agar masyarakat lebih menghargai bambu, mengambil manfaat ekonomi dari bambu, dan memperbaiki lingkungan dari bambu,'' kata dia.

Ia pun yakin dengan pilihan yang diambilnya karena pilihannya tersebut dibangun dari kerangka pikir yang kuat, terlebih sekarang masyarakat dunia sudah sadar untuk menggunakan produk ramah lingkungan, salah satunya produk berbahan bambu.

Diakui Agus, dalam bisnis bambu, Indonesia masih kalah dari Tiongkiok, terutama dalam segi harga. Di Tiongkok, harga bambu laminasi Rp225 ribu per meter persegi, sedangkan di Indonesia biaya produksinya saja mencapai Rp275 ribu sehingga jika dijual, sekitar Rp400 ribu per meter persegi.

Ia mengatakan harga bambu di Tiongkok lebih murah karena Tiongkok sejak 1978 sudah masif menanam bambu di tiga provinsi. Mereka juga membuat pabrik pengolahan yang terintegrasi, dari laminasi hingga tekstil. Jika Indonesia tidak mampu membuat industri bambu yang terintegrasi seperti Tiongkok, kata dia, harga bambu dari Indonesia akan selalu kalah dari harga bambu dari Tiongkok.

Walau harganya lebih mahal, produk Indonesia memiliki keunggulan, yaitu dari segi tekstur bambu yang lebih jelas dan proses pe ngawetannya yang lebih tahan lama. ''Dengan dijual Rp400 ribu, banyak yang beli karena tekstur bambunya yang terlihat jelas dan lebih tahan,'' kata dia.

Sesuai dengan namanya, CV Rumpun Bambu Nusantara, diharapkan bisnis bambu ini bisa berkembang di mana-mana. Selain di Yogyakarta, kata dia, ada mitra perusahaan masih memiliki hubungan dengan Bambubos, tetapi telah berdiri sendiri di Bogor dan Kuningan.

''Kami menerapkan sistem mitra agar semua bisa sejahtera,'' kata dia.

Dengan sistem tersebut, kata dia, perusahaan yang dipegangnya tidak murni bisnis, tetapi bisnis, tetapi ikut menjaga ekologi, dan memberdayakan sosial masyarakat. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya