Sengaja Apatis Demi Produk Manis

Irene Harty
26/3/2016 21:01
Sengaja Apatis Demi Produk Manis
(AFP / DAMIEN MEYER)

BUKAN sekali dua kali kalimat 'Kita harus jadi konsumen cerdas' terbaca atau terdengar dalam masyarakat. Seruan-seruan untuk lebih peduli dengan berbagai produk yang digunakan terus dilakukan.

Tapi nyatanya masih banyak produk yang dibuat tanpa peduli usia kerja atau membahayakan lingkungan masih ada di pasar. Ketidaksengajaan atau bukan yang jelas dalam studi terbaru pemasaran oleh co-writer studi dan profesor pemasaran di The Ohio State University Fisher College of Business, Rebecca Walker Reczek ada tindakan sengaja bodoh untuj tetap membeli produk yang tidak etis itu oleh masyarakat.

Seperti dilansir www.sciencedaily.com beberapa waktu lalu, Walker mengatakan bahwa konsumen yang bertindak lebih etis atau cerdas akan suatu produk dianggap kurang modis dan membosankan. "Ini adalah lingkaran setan ini," katanya.

Paling buruk lagi jika konsumen yang memilih untuk masa bodoh menghakimi orang-orang yang lebih cerdas membeli produk. Konsumen masa bodoh itu secara tidak sadar akan menjadi kurang cerdas di masa depan.

Walker melakukan penelitian dengan Daniel Zane, seorang mahasiswa pascasarjana di Ohio State Fisher College, dan Julie Irwin, seorang profesor pemasaran di University of Texas di Austin. Studi itu melanjutkan studi sebelumnya yang dilakukan Irwin dan menunjukkan sikap masa bodoh itu memang disengaja demi mendapat produk favorit.

Untuk penelitian baru ini, Walker dan rekan-rekannya melakukan beberapa percobaan untuk menentukan konsekuensi dari kebodohan yang disengaja ini. Dalam studi pertama, 147 mahasiswa diberitahu mereka akan mengevaluasi empat merek jeans biru yang berbeda hanya pada empat atribut: gaya, mencuci, harga dan atribut keempat.

"Atribut keempat tergolong baik untuk masalah etika (apakah perusahaan digunakan pekerja anak) atau masalah kontrol (waktu pengiriman untuk celana jeans)," paparnya. Peserta diberitahu bahwa karena kendala waktu, mereka hanya bisa memilih dua dari empat atribut untuk membuat evaluasi mereka.

Seperti yang diharapkan, sebagian besar peserta yang diberi kesempatan untuk mengetahui apakah jeans dibuat dengan pekerja anak memilih untuk tetap 'sengaja bodoh.' Itu kunci untuk selanjutnya yang mana peserta memberi pendapat mereka tentang berbagai jenis konsumen untuk tujuan segmentasi pasar.

Mereka yang masa bodoh tentang memakai pekerja anak pada produksi jeans cenderung merendahkan konsumen yang peduli soal itu. "Mereka menilai konsumen etis kurang positif pada sifat-sifat positif dan lebih negatif pada sifat-sifat negatif," kata Walker.

Percobaan lain menunjukkan mengapa ancaman perasaan tidak etis dengan pendorong utama tindakan sengaja bodoh. Konsumen sengaja bodoh kemudian diberi kesempatan untuk mengklik sebuah tombol pada sebuah situs web yang akan membuat sumbangan untuk amal.

Dalam hal ini, peserta sengaja bodoh tidak menilai konsumen yang bertindak etis dengan kasar ketika membeli produk. "Kalau mereka memang etis, mereka tidak menilai konsumen lebih etis sebagai kasar," kata Walker.

Penelitian ketiga menunjukkan apa yang bisa terjadi ketika orang-orang memilih untuk tetap sengaja bodoh tentang masalah etika saat berbelanja. Dalam percobaan ini, konsumen yang tidak mempertimbangkan masalah lingkungan saat memilih ransel yang kurang mendukung pro-sustainability 'Think Green Pledge' online.

Tindakan itu akan berpengaruh ke masa depan, menurut Walker. Dalam pandangannya konsumen ada yang benar-benar cerdas tapi ada juga yang hanya menuruti keinginan semata.

"Perusahaan yang menggunakan praktek etika dalam memproduksi produk mereka dapat membantu dengan membuat informasi yang sangat menonjol, tepat di paket jika mungkin," saran Walker. Dengan demikian perusahaan membantu konsumen bukan hanya lebih cerdas melainkan lebih berempati terhadap lingkungan sekitarnya. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Aries
Berita Lainnya