Aset 6.000 WNI Dikejar Aparat Pajak

Astri Novaria
22/3/2016 05:05
Aset 6.000 WNI Dikejar Aparat Pajak
(ANTARA/Hafidz Mubarak A)

PEMERINTAH telah mengantongi informasi adanya ribuan rekening keuangan milik warga negara Indonesia di luar negeri.

Sebagian besar tidak melapor dalam bentuk surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak kepada negara.

Itu diungkapkan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro seusai rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin.

"Di satu negara, ada lebih dari 6.000 WNI punya rekening di negara tersebut, dan kemudian ada 2.000 special purpose vehicle (SPV) yang terkait 6.000 nama WNI tersebut."

Ia menuturkan ada pola yang dipakai sebagian WNI untuk membuka rekening perbankan di suatu negara.

Awalnya, dibentuk pola SPV.

SPV acap disebut paper company atau perusahaan yang eksis secara legal formal, tapi tidak memiliki operasi.

Lokasi pembuatan SPV yang populer, menurut Bambang, ialah British Virgin Island.

Dari situ, SPV menyimpan uang pemiliknya di salah satu negara.

Saat ini, pemerintah telah mengidentifikasi bank dan rekening tersebut.

"Uang yang disimpan di sana belum tercatat sebagai aset yang dilaporkan di dalam SPT. Tentunya ini merupakan bagian yang kita kejar, kita harap tentunya pemilik uangnya dengan sukarela melaporkan atau ikut di dalam program pengampunan pajak," ucap Bambang.

Pemerintah tahun ini memang tengah mengupayakan program pengampunan pajak (tax amnesty).

Namun, hal itu masih perlu menunggu lampu hijau dari parlemen yang kini sedang masa reses.

Bambang juga menyebutkan pemerintah telah kehilangan potensi pajak Rp500 triliun.

Potensi pajak yang ia maksud berasal dari sekitar 1.900 penanaman modal asing (PMA) di Indonesia yang selama 10 tahun terakhir mengemplang pajak.

"(Tidak bayar) karena selalu mengklaim rugi," komentar dia.

Padahal, menurut perhitungan atau pemeriksaan pajak, lanjut Bambang, harusnya perusahaan tersebut membayar rata-rata Rp25 miliar per tahun.

"Ini juga bagian dari penggelapan pajak yang harus dibereskan," jelasnya.

Wajib pajak (WP) yang sudah terdaftar di Indonesia pun dinilai Bambang belum sepenuhnya patuh.

Dari lima juta WP, hanya 900 ribu yang benar-benar membayar pajak dan hanya menyumbang Rp9 triliun.

"Hal-hal ini yang nantinya menjadi perhatian kami, di samping tentunya kerja sama antara Ditjen Pajak dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Indonesia)," terangnya.

Integrasi data

Hal sama disampaikan Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung. Menurutnya, dalam rapat terbatas yang berlangsung 2 jam, Presiden meminta PPATK, Ditjen Pajak, dan Ditjen Bea dan Cukai untuk memakai data bersama yang terintegrasi.

Data bersama itu akan ditindaklanjuti sebagai tolok ukur melihat objek pajak.

Dengan sistem teknologi informasi yang terintegrasi, pemerintah berharap rasio pajak (tax ratio) yang kini berkisar 11% akan terangkat.

Pramono mengatakan Presiden ingin rasio pajak bisa naik ke level 12%-15%.

"Di 2018, perpajakan dunia akan sangat terbuka dan uang di mana saja akan terlihat. Sekarang ini kesempatan bagi siapa pun yang masih menyimpan uangnya di luar untuk segera berkoordinasi dengan Kemenkeu agar tidak jadi permasalahan di kemudian hari," imbuh Pramono.

Di tempat sama, Kepala PPATK Muhammad Yusuf berjanji pihaknya akan membantu Ditjen Pajak agar pemasukan pajak bisa optimal.

"Setiap hari PPATK menerima data minimal 150 ribu laporan dan semua bicara uang. Ini semua kita kembangkan, analisis, kita kerja sama dengan pajak sehingga ketemu angka tertentu bahwa ternyata wajib pajak itu tidak comply selama ini," pungkasnya. (E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya