Ada yang Luput dari UU Tapera

Raja Suhud/S-2
11/3/2016 05:05
Ada yang Luput dari UU Tapera
(DOK MI)

PEMERINTAH dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan Undang Undang (UU) tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada pertengahan bulan lalu.

UU Tapera diklaim menjadi bukti bahwa negara hadir dalam persoalan yang dihadapi rakyat, yakni penyediaan kebutuhan perumahan.

Seharusnya, kehadiran UU Tapera ini disambut baik semua pihak.

Namun, fakta berbicara lain.

Ternyata kehadiran UU Tapera yang memiliki tujuan baik, yakni menjadi solusi bagi penyediaan rumah bagi masyarakat, dirasa menjadi tambahan beban bagi dunia usaha sebab Tapera akan memungut iuran dari pekerja, yakni 3% dari upah sebulan dengan komposisi 2,5% ditanggung pekerja, dan 0,5% ditanggung perusahaan.

Bila para pengusaha bisa menyuarakan penolakannya melalui Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), lain halnya dengan kalangan pekerja kantoran.

Riri, 32, hanya bisa bertanya manfaat apa yang bisa ia terima sebagai pekerja kantoran yang memiliki cicilan kredit pemilikan rumah (KPR).

"Apa bisa saya mendapat bunga KPR yang lebih rendah dengan menabung di Tapera," tanyanya.

Pertanyaan Riri menjadi relevan karena ia merupakan pekerja yang tidak bisa memperoleh manfaat segudang dari UU Tapera.

Dengan memiliki gaji yang mencapai Rp8 juta per bulan, ia tentu tidak masuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) versi pemerintah yang mensyaratkan gaji Rp4 juta untuk pembelian rumah tapak dan Rp7 juta untuk rumah susun.

Ia tidak bisa mendapat bunga spesial yang saat ini besarnya 5%, dan bebas biaya asuransi jiwa sepanjang masa kredit.

"Kalau uang potongan itu bisa mengurangi pembayaran angsuran saya, ya tidak apa-apa dipotong untuk Tapera, tapi ini kan tidak. Dana baru bisa diambil setelah saya berhenti kerja atau pensiun," ungkapnya kesal.

Sebagai pekerja kantoran, ia merasa tidak pernah ditanyakan persetujuannya atas UU itu.

Suaranya seakan-akan sudah diwakili para wakil rakyat yang terhormat di DPR.

Wakil Ketua Pansus RUU Tapera Misbakhun mengakui kalangan pekerja kantoran luput menjadi narasumber saat dengar pendapat membahas masukan RUU Tapera.

"Ya memang kita tidak panggil karena tidak asosiasi pekerja kantoran. Kami hanya bisa minta masukan dari asosiasi pengusaha, serikat pekerja, para buruh. Tapi pekerja kantoran memang belum," ujarnya.

Ia bisa memahami ada keberatan dari para pekerja formal atau kantoran.

Namun, ia melihat hal itu bisa diakomodasi dalam peraturan pemerintah (PP) yang akan dikeluarkan sebagai turunan UU Tapera.

Semoga saja pemerintah mau turun dan mendengar suara yang ada di masyarakat, terutama dari para kalangan pekerja kantoran yang selama ini tidak terakomodasi pendapatnya sehingga UU Tapera ini bisa menjadi solusi bagi semua pihak, bukan hanya solusi bagi MBR, melainkan juga jadi beban bagi pengusaha dan pekerja kantoran yang non-MBR.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya