Sisi Buram Business Traveler

The Economist/*/E-2
26/2/2016 02:30
Sisi Buram Business Traveler
(MI/SENO)

PERNAH merasa iri dengan teman atau rekan sejawat Anda yang bolak-balik perjalanan dinas ke luar kota atau bahkan luar negeri?

'Enak ya, jalan-jalan terus', begitu mungkin pikir Anda. Well, perjalanan bisnis (yang kelewat sering) ternyata tidak seglamor yang Anda pikir.

Para peneliti di University of Surrey, Inggris, dan Linnaeus University, Swedia, telah memublikasikan sebuah hasil studi baru yang menyoroti apa yang mereka sebut dark side of hypermobility, atau sisi gelap dari hipermobilitas.

Mereka yang tergolong hypermobile, termasuk pebisnis yang acap melakukan lawatan dinas (business traveler), memenangi cap tertentu dalam masyarakat kini dengan dunia menakjubkan yang mereka jalani dan dapati dari perjalanan mereka, termasuk juga dari berbagai unggahan di media sosial yang menimbulkan rasa iri.

Namun, para peneliti memperingatkan, saat aspek glamor dalam mobilitas tercipta, ada sebuah keheningan menyeramkan yang mengarah ke sisi gelap.

Penelitian atas efek seringnya bepergian menemukan timbulnya tiga jenis konsekuensi: fisiologis, psikologis, dan emosional, serta sosial.

Fisiologis barangkali yang paling jelas.

Jet lag merupakan penderitaan yang paling lazim dialami seseorang yang bepergian, terutama pada jarak jauh atau panjang.

Namun, ada pula kemungkinan lebih mengerikan, seperti mempercepat penuaan atau meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.

Lalu ada bahaya juga thrombosis dalam pembuluh vena, paparan kuman, dan radiasi yang lebih berisiko daripada biasa.

Terakhir tentu saja, business traveler cenderung kurang berolahraga dan makan sehat ketimbang orang-orang yang moblitas kerjanya lebih sedikit.

Korban psikologis dan emosional dari perjalanan bisnis bisa dikatakan lebih abstrak.

Banyak orang yang bepergian mengalami 'disorientasi perjalanan' karena begitu sering mengalami perubahan tempat dan zona waktu.

Stres mereka pun meningkat, sebab waktu yang dihabiskan untuk perjalanan jarang diimbangi dengan berkurangnya beban kerja.

Bahkan, bisa jadi ada kecemasan terkait dengan pekerjaan yang terus menumpuk selama bepergian.

Lebih lanjut, kehadiran sosok keluarga dan teman yang minim juga membuat seseorang dengan hipermobilitas merasa terisolasi dan kesepian.

Dampaknya pun terlihat dalam sebuah studi pada 10 ribu karyawan Bank Dunia yang menemukan bahwa mereka yang tergolong business traveler lebih mungkin untuk mengajukan klaim asuransi psikologis.

Tentu saja, dampak-dampak atas penelitian itu bisa berbeda-beda, tergantung beban kerjaan.

Kalangan elite itu cenderung memiliki pendapatan lebih tinggi, juga akses perawatan kesehatan yang lebih baik daripada orang kebanyakan.

Jadi, silakan Anda iri terhadap foto-foto 'wow' mereka di media sosial, tapi ingat saja, faktanya tidak melulu seindah gambaran.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya