Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

JK Sebut Redenominasi Rupiah tidak Urgen

Faustinus Nua
18/10/2019 08:30
JK Sebut Redenominasi Rupiah tidak Urgen
Karyawan menghitung uang rupiah pecahan 100 ribu di Plaza Mandiri, Jakarta.(ANTARA/Rivan Awal Lingga)

RENCANA penyederhanaan nilai mata uang atau redenominasi terhadap rupiah yang pernah digaungkan, hingga akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode I belum juga terlaksana. Hal tersebut, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, karena belum ada urgensinya.

"Memang rencananya dulu. Tapi, memang ini dirasa tidak terlalu urgen dibandingkan masalah-masalah lainnya," ungkapnya dalam acara Dialog 100 Ekonom bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, di Jakarta, Kamis  (17/10).

Diakuinya, penyederhaan rupiah tersebut penting untuk mempermudah dan menjadi lebih efisien dalam bertransaksi. Namun, mengingat masih banyak persoalan yang menurutnya lebih penting dan mendesak, pemerintah harus menunda rencana tersebut.

Baca juga: Pasar Keuangan Syariah makin Menjanjikan

Wapres JK juga menambahkan, saat ini, nilai tukar rupiah bukanlah yang terburuk terhadap dolar AS. Masih ada banyak negara yang justru nilai tukarnya jauh lebih rendah ketimbang rupiah.

"Rupiah bukan terburuk. Ada Venezuela, Brasil, Turki, dan Afrika Selatan yang lebih rendah. Jadi tidak benar Indonesia rupiahnya terburuk," imbuhnya.

Sementara itu, terkait utang luar negeri, JK mengatakan hutang Indonesia masih dalam posisi normal.

Saat ini, utang Indonesia masih di bawah 30% dari GDP (gross domestic product) dan secara teori, menurutnya, itu masih dalam posisi aman.

Dibandingkan dengan negara lain, JK menilai Indonesia masih jauh lebih baik. Malaysia disebutnya justru mempunyai utang luar negeri mencapai 50% dari GDP, Turki sendiri mencapai 80% dari GDP, dan Amerika Serikat (AS) bahkan hampir mencapai 100% GDP .

"Utang banyak asal bisa bayar. Apalagi 30% GDP itu masih normal dibandingkan dengan negara lain," jelasnya. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya