Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
LANGKAH Indonesia dan beberapa negara ASEAN yang menyerukan tindakan balasan atau retaliasi atas diskriminasi perdagangan oleh Uni Eropa dipandang sebagai langkah positif. Langkah itu dinilai tepat untuk melindungi kepentingan ekonomi Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara.
Demikian diungkapkan pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto di Jakarta, Sabtu (27/4).
Dia tidak memungkiri retaliasi perdagangan akan menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak. Namun, tanpa ada perlawanan, dikhawatirkan diskriminasi oleh Uni Eropa semakin kuat. “Jadi harus ada upaya membalas. Kalau diam, nanti kian menjadi-jadi.”
Eko juga mengingatkan pemerintah harus berhati-hati menyusun strategi yang tepat. “Jika kita akan membatasi impor dari Eropa, kita harus memilih produk yang tepat agar perlawanan memberi sinyal kuat.”
Menurut Eko, komoditas yang berpotensi dibatasi tidak harus berbau teknologi tinggi. Produk ringan berupa makanan minum-an bisa jadi target sasaran.
Pemerintah juga perlu menerapkan strategi perlawanan lunak dengan memperbanyak kajian sebagai dasar argumentasi dalam membela industri minyak sawit. “Dengan riset dan kajian cukup akan tercipta ruang adu pendapat dan membuka peluang masyarakat negara maju yang rasional untuk menerima minyak sawit,” pungkas Eko.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)Danang Girindrawardana juga mengapresiasi Kemendag yang berani melakukan retaliasi seperti pada produk minuman beralkohol dari Eropa.
Tak sekadar minuman alkohol, ia menyarankan pemerintah juga lebih gencar melakukan retaliasi terhadap berbagai produk lainnya dari Eropa yang selama ini kerap membanjiri Indonesia.
Sebelumnya Mendag Enggartiasto Lukita menyerukan aksi retalisasi atas kebijakan proteksionisme UE yang diskriminatif atas beberapa produk asal Asia Tenggara seperti minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai komoditas asal Indonesia dan Malaysia serta beras asal Myanmar dan Kamboja.
Kerek ekspor jasa
Secara terpisah, ekonom perdagangan internasional dari Universitas Indonesia Fithra Faisal mengapresiasi kesepakatan yang ditandatangani Mendag Enggartisto Lukita bersama menteri-menteri perdagangan Asia Tenggara lainnya melalui kesepakatan ASEAN Trade in Services Agreement (ATISA).
Menurut dia, kesepakatan ATISA itu dapat mengerek ekspor jasa Nusantara dan bahkan diyakini mampu melambungkan nilai ekspor jasa Indonesia sampai 20% lebih besar sehingga bisa berkontribusi positif pada produk domestik bruto (PDB).
“Bukan hanya itu, kesepakatan ASITA juga akan berdampak positif terhadap perdagangan barang antara Indonesia dan ASEAN,” tutup Fithra melalui keterangan resminya.
Berdasarkan data Sekretariat ASEAN, nilai ekspor jasa di kawasan ini meningkat tiga kali lipat dari US$113,4 miliar pada 2005 menjadi US$360,5 miliar pada 2017.
Dalam periode yang sama, impor jasa ASEAN menyentuh US$342,7 miliar pada 2017. Di Indonesia, sampai akhir 2018, total nilai ekspor jasa menyentuh angka US$27,93 miliar, sedangkan nilai impor jasa berada di angka US$35,03 miliar. (E-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved