Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
Rencana Bank Indonesia (BI) yang akan mengizinkan bank penerbit uang elektronik memungut biaya isi ulang atau top up saldo mendapat tentangan.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyebutkan langkah BI itu malah akan menghambat upaya Gerakan Nasional Nontunai.
“Secara filosofis, apa yang dilakukan BI justru bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society,” ujar Tulus melalui keterangan resmi, kemarin.
Menurutnya, sangat tidak adil dan tidak pantas jika konsumen justru dibebani disinsentif berupa biaya top up. Apalagi, ungkap Tulus, perbankan sudah sangat diuntungkan karena menerima uang di muka. Di sisi lain, konsumen sebagai pengguna belum melakukan transaksi. “Harusnya konsumen malah mendapatkan insentif karena telah menggunakan nontunai dan membantu program pemerintah,” tegasnya.
Ia juga memandang sangat tidak pantas bagi perbankan menggali pendapatan dengan mengandalkan uang recehan. “Seharusnya keuntungan bank itu berbasis dari modal uang yang diputarnya dari sistem pinjam-meminjam, bukan mencatut transaksi recehan dengan mengenakan biaya top up. YLKI mendesak BI untuk membatalkan peraturan tersebut,” tandasnya.
Penolakan terhadap pemungutan biaya top up uang elektronik yang antara lain digunakan untuk membayar tol juga datang dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Direktur Merger KPPU Taufik Aryanto mengatakan hal itu tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada konsumen.
“Idealnya, beban itu dibagi juga kepada operator, bahkan pemerintah. Nanti bisa dalam bentuk public service obligation (PSO),” ujar Taufik.
PSO merupakan kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi kepada badan usaha milik negara dalam menjalankan pelayanan publik. “Jadi, kalaupun ada yang dibebankan ke konsumen, seharusnya kecil. Mungkin hanya seperempat atau seperlima,” lanjutnya.
Pengembangan infrastuktur
BI menyatakan diberikannya izin bagi perbankan untuk memungut biaya isi saldo uang elektronik agar memenuhi kebutuhan infrastruktur alat bayar nontunai tersebut, di antaranya guna memperbanyak fasilitas pengisian saldo uang elektronik.
“Oleh karena itu, BI mengizinkan untuk ada tambahan biaya. Namun, biayanya sampai jumlah tertentu dan tidak boleh berlebihan,” kata Gubernur BI Agus Martowardojo di Kantor Perwakilan BI di Banten, Serang, pekan lalu.
Agus mengatakan, jika Bank Sentral sebagai otoritas sistem pembayaran tidak memperbolehkan dikenakannya biaya isi saldo uang elektronik, dikhawatirkan jumlah sarana pembelian dan pengisian saldo uang elektronik akan terbatas.
Deputi Gubernur BI Sugeng mengatakan pihaknya masih melakukan kajian terkait skema, termasuk besaran nominal dari pengenaan biaya top up. Lebih lanjut dia mengungkapkan latar belakang kebijakan tersebut tidak lain mendorong peningkatan transaksi nontunai dengan mencari titik keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan industri.
“Masyarakat membutuhkan kenyamanan, kemudahan dan biaya yang murah bahkan gratis. Namun, di satu sisi industri juga memperoleh manfaat dan perlu melakukan investasi dengan besaran yang wajar, termasuk perluasan infrastruktur terminal uang elektronik dan lokasi top up,” ujar Sugeng. (Tes/E-1)
andhika@mediaindonesia.com
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved